Ronan
Ramon datang ke kamarnya ketika dia mencoret-coret buku untuk mencari ide menulis. Anak itu berdiri di ambang pintu dengan wajah garang seolah hendak membentak ayahnya. Namun, yang keluar dari mulutnya hanyalah sebuah pertanyaan. “Aku boleh pergi?”
“Ke mana?” tanya Ronan, dia menaruh pensil di meja.
“Kelompok Seni Budaya. Di rumah temanku.” Ramon menjawab dengan malas.
Ronan mengangguk. Dia mengambil kunci mobil lalu berjalan keluar. “Asalkan aku bisa menjemputmu sebelum malam.”
Ramon tidak menjawab, dia hanya mengikuti ayahnya. Ketika sudah sampai di luar, Ramon duduk di undakan sedangkan ayahnya mengeluarkan mobil dari garasi. Di dalam garasi, Ronan melihat Roman sedang membawa kardus-kardus dari gudang yang terletak di sebelah garasi. Mata mereka bertabrakan lalu bertatapan cukup lama.
“Aku lupa bilang,” kata Roman. “Ada surat kabar yang akan mengulas kisah Ibu.”
Ronan menunggu. Tapi bibirnya sudah bergerak untuk bertanya, “Kisah seperti apa?”
Di detik pertama, Ronan bisa melihat mata anaknya yang berubah merah yang menyiratkan seolah Roman akan membunuhnya saat itu juga. “Tentang kematian Ibu.”
Mereka saling mengerti. Namun, sepertinya masih ada yang ingin disampaikan Roman karena anak itu masih memandang ayahnya dengan buas. “Ramon belum tahu,” katanya. “Aku tidak mau dia tahu dari surat kabar itu.”
Ronan menyandarkan badannya di mobil, tubuhnya langsung melemas saat membayangkan memberitahu Ramon tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan ibunya. “Apa itu perlu?” tanya Ronan. “Dia masih kecil.”
“Dia sudah dewasa.” Roman membenarkan dus di tangannya. “Dia akan baik-baik saja.”
“Dia mungkin terpancing untuk....”
“Apa? Melakukan hal yang sama?” Roman tergelak, jenis gelak yang penuh derita. “Ayah membuatku muak.”
Ronan mengeraskan rahangnya. “Ramon masih butuh waktu untuk—“
“Aku yang akan memberitahukannya. Ayah hanya tinggal diam dan menonton. Dia akan baik-baik saja. Dia anak baik.”