Ruang Sunyi

Sayyidatul Imamah
Chapter #18

18

Ramon

Aku memanjat keluar jendela, lalu berjalan sambil memeluk tubuh karena angin malam ternyata cukup ganas. Di pinggir jalan, aku merasakan ketakutan aneh yang merayapi kepalaku. Aku takut pada hantu yang bersembunyi di kegelapan.

Tapi ibu menemaniku, dia berjalan di sampingku dengan langkah santai. “Kamu memang nakal, Mon,” katanya dengan tenang. “Jangan pergi ke bar itu. Mereka tidak baik untukmu.”

Aku mendongak dengan marah. “Memangnya bunuh diri baik untuk Ibu?”

Sinar mata ibu berubah kecewa. Dia memakai gaun merah yang sering dipakainya, dan rambutnya sangat pendek seperti potongan rambut laki-laki. Dia tidak memakai riasan. Dia cantik. Dan, dia hantu. Padahal aku takut hantu tapi ibuku adalah hantu. Dia menabrakkan dirinya yang berada di dalam mobil ke pagar jembatan dan terjun ke lautan. Aku tidak melihat mayatnya. Aku hanya melihat gaun merahnya serta jam tangannya di dalam plastik yang disodorkan polisi. Benda-benda itu tidak terlihat nyata bagiku saat itu. Rasanya, gaun itu bisa milik siapa saja, begitu pun jamnya. Ibuku tidak mungkin mati begitu saja.

Sekarang, aku memandang matanya. Berharap bahwa ibu memang tidak mati. Dan, orang yang berjalan di sampingku bukan hantu, melainkan ibu yang hanya bisa terlihat olehku.

“Ibu menyayangimu,” kata ibu.

Aku menggeleng. “Kalau Ibu menyayangiku, seharusnya Ibu tidak mati.”

Ibu tampak marah. “Tidak ada kata seharusnya dari tindakan menyayangi, Mon. Itu tindakan tulus. Tidak pernah terpicu atau terbatalkan oleh hal lain,” kata ibu. “Ibu menyayangimu. Itu intinya.”

Sebelum aku menjawab, ibu berjalan lebih cepat mendahuluiku. Gaun merahnya dengan cepat bergabung dengan kegelapan sampai tidak terlihat. Aku berlari mengikutinya tapi ibu sudah menghilang.

Aku memanggilnya.

Tidak ada jawaban.

Ketika sadar bahwa ibu tidak akan kembali, aku berjalan dengan marah ke arah bar. Tiba-tiba darah menggelegak di dalam tubuhku karena merasa ibu bersikap egois, karena dia mengatakan menyayangi adalah tindakan tulus tapi dia pergi begitu saja tanpa bertanya apakah aku mau ikut dengannya atau tidak. Dia selalu begitu bahkan saat masih hidup. Dia selalu menyimpulkan apa yang kumau sebelum bertanya. Dia berdiri di ambang pintu kamarku, menyimpulkan bahwa aku marah dengannya. Dia menatapku takut-takut, menyimpulkan bahwa aku akan mencacinya. Dia tidak mencium keningku padahal dia mencium kening kakak, menyimpulkan bahwa aku benci dengan ciuman itu.

Aku berbelok ke arah bar, melihat orang-orang nongkrong di depan bangunan itu sambil tertawa dan tampak akrab satu sama lain.

Aku mencari-cari Elang di antara mereka. Tidak ada. Aku juga tidak melihat teman-temannya.

Apa Elang membohongiku?

Aku berdiri agak jauh dari bar itu, lalu memutuskan untuk mendekat. Kehadiranku sangat kentara karena pakaianku, mereka langsung menoleh padaku. Sebelum aku berbalik untuk pergi, aku mendengar sesuatu.

Lihat selengkapnya