Ruang Sunyi

Sayyidatul Imamah
Chapter #19

19

Maesa

Gina menanyakan asal lebam di dahiku serta bengkak di mataku. Dia menyipitkan mata sebelum aku menjawab. “Sudah kubilang jangan ada ganja lagi, Sa.”

Aku tersenyum karena Gina memberiku alasan bagus. “Hanya sedikit,” kataku.

“Kamu akan tampil.” Nada suara Gina berubah menggurui. “Polisi bisa tiba-tiba datang dan membawa anjing, baumu akan tercium.” Dia menatapku tajam. “Aku tidak pernah pandai berurusan dengan polisi. Itu akan jadi urusanmu sendiri dengan pengacara—“

“Gina, oke. Aku mengerti.”

Dia mengangguk dengan wajah kesal lalu pergi ke belakang untuk mengurus konserku yang akan diadakan malam ini. Aku duduk di belakang panggung, menempelkan es batu—yang diberikan Gina—pada kening. Mataku menangkap peralatan musik yang belum diatur oleh para staf, dan aku teringat hari ketika ibu menciumku untuk terakhir kalinya. Dia memakai gaun putih yang katanya dibelinya sendiri ketika lukisannya laku. Dia berdiri di depanku, tersenyum dengan sangat lebar.

“Kamu anak Ibu yang paling cantik,” katanya sambil berjongkok di depanku. “Ibu selalu ingin melukis wajahmu, Sa. Tapi tak pernah bisa. Selalu ada yang salah. Matamu di lukisan terkadang terlihat tidak hidup, atau terkadang bibirmu bentuknya salah.” Dia membelai rambutku. “Kamu tidak bisa dilukiskan.”

Aku memandang matanya yang terbuka lebar, mengundangku untuk masuk ke dalamnya. “Ibu mau ke mana?”

Ibu mencium kening, pipi, dan bibirku. “Melukis.”

Biasanya dia melukis di belakang rumah, atau di galeri Paman Redi. Jadi, itu wajar. Aku mengangguk. “Kapan kembali?”

Dia tersenyum ragu. “Ibu mencintaimu.” Dia memelukku sangat erat. “Seandainya Ibu bisa membawamu,” katanya dengan nada sedih.

Dia pergi dengan sedikit limbung ke arah pintu, sinar matahari di luar menelannya perlahan. Aku duduk di kursi milikku sendiri sambil meremas tangan.

Aku duduk di sana selama berjam-jam. Lalu kembali ke kamar dan tidur.

Kemudian, aku bangun karena ayah membangunkanku, matanya sembap dan merah. Kupikir dia akan memukulku. Tapi dia langsung membuka bajuku dan menggantinya dengan yang tidak kotor. “Kita mau ke mana?” tanyaku.

Ayah tidak menjawab. Dia tidak berbicara padaku bahkan ketika kami berada di rumah sakit. Seorang dokter mengatakan aku terlalu kecil untuk melihat mayat. Aku merengut mendengar kata mayat. Tapi ayah berkata bahwa aku adalah anak Sarah, ibuku. Dan, aku harus melihatnya.

Pada akhirnya hanya ayah sendiri yang masuk ke kamar mayat, sedangkan aku duduk di kursi panjang ditemani seorang suster yang nada suaranya kekanak-kanakan. Dia memberiku roti yang langsung kuhabiskan karena aku kelaparan. Malam itu, aku mendengar ayahku berteriak dari dalam ruangan. Dia bilang itu bukan Sarah, ibuku. “Dia hancur! Jelek!” teriak ayah.

Seorang laki-laki yang membawa gitar di punggungnya—dia berdiri di dekat ruangan lain, mungkin mau melihat mayat keluarganya juga—melirikku. “Malam yang indah untukmu, anak kecil.”

Aku tergelak.

Lihat selengkapnya