Ruang Sunyi

Sayyidatul Imamah
Chapter #21

21

Ramon

 Setelah seminggu tidak sekolah, aku menjadi sangat takut untuk melangkah ke dalam sana. Aku merasa aneh ketika keluar dari mobil dan memasuki gerbang. Beberapa anak memandangi wajahku yang belum benar-benar sembuh. Seharusnya ayah tidak menahanku untuk sekolah dengan alasan proses penyembuhan. Seolah yang luka hanya wajahku.

Aku mencari-cari keberadaan Elang, dia tidak pernah menghubungiku lagi sejak malam itu. Aku juga tidak menghubunginya meski memiliki nomornya. Ada suara di kepalaku yang mengatakan kalau Elang yang harusnya menghubungiku terlebih dulu. Tapi suara lainnya bertanya, memangnya aku siapa?

Aku orang yang hampir membunuh laki-laki penyodok, pikirku. Dan, aku bisa melakukannya lagi.

Di kelas, si gadis kelereng berbicara padaku. “Tugasnya sudah dikumpulkan dua hari yang lalu, aku presentasi sendirian. Bu Lina tidak percaya kalau kamu yang melukis, jadi kamu masih memiliki hutang nilai padanya.”

Aku sudah lupa bagaimana hubunganku dengan si gadis kelereng dimulai, tetapi dari caranya memandang wajahku yang lebam, aku tahu dia akan mengakhiri segala hubungan yang kami punya. Dia menyerahkan esai yang dia tulis. “Kalau kamu mau baca.” Aku menaruh esainya di kolong meja, dan yakin kalau aku tidak akan pernah membacanya.

Di pelajaran Biologi, aku duduk menyendiri di sudut lab. Seharusnya aku membedah katak bersama teman-teman kelompokku, tetapi salah satu dari mereka—anak yang telinganya lebar—membenciku. Jadi, mereka tidak memberiku tugas. Aku hanya duduk di kursi paling ujung dan memutar-mutar pulpen yang kupegang. Si gadis kelereng berdiri di sampingku beberapa menit kemudian. Sangat kentara kalau dia mau berbicara denganku, tetapi dia pura-pura bertemu denganku secara kebetulan dengan mengambil kertas parafin yang berada di dekatku padahal dia bisa mengambilnya di depan.

“Itu karena Elang kan?” tanyanya. Mata kelerengnya menatap lurus pada wajahku.

Aku mengeraskan rahang. “Bukan urusanmu.”

Si gadis kelereng memindahkan berat badannya dari satu kaki ke kaki lain. “Memang bukan.”

Dia belum pergi. Aku mendongak ke arahnya. “Kurasa tidak ada alasan lain agar kita bicara lagi,” kataku. Si gadis kelereng tampak sangat sedih, matanya mengerjap cepat. Dia tidak pergi, tidak juga mengatakan apa pun. Pada akhirnya dia tersenyum.

“Ya, benar.” Dia berbalik dan pergi. Aku menyendiri lagi di sudut lab.

Di lorong, setelah kembali dari lab. Seorang cowok (kelihatannya kakak kelas) menghalangi jalanku. Anak-anak merapat di sekitar kami karena sepertinya mereka merasa ada yang menarik. Dia terlihat sendirian, walaupun aku tahu teman-temannya bisa datang kapan saja.

“Kenapa wajahmu, Mon?” Senyum lebarnya menampilkan gigi-giginya yang tidak rata, menjijikkan.

Aku berusaha melewatinya. Tapi dia menarik tanganku dan mendorongku ke belakang. Punggungku menabrak tubuh seseorang, aku segera menyeimbangkan tubuh lagi. “Jatuh,” jawabku.

Beberapa anak jelas tertawa, sedangkan si kakak kelas menaikkan sebelah alisnya. “Oh ya? Kudengar kamu bikin keributan di bar.”

Jantungku kembali berdebar ketika mengingat perkelahian itu. Aku sering memimpikannya dan selalu berakhir aku berhasil membunuh lelaki itu. “Kamu tahu siapa yang kamu hajar?” tanya si kakak kelas. Alisnya terus terangkat seolah itu mengesankan padahal dia tampak dungu. “Itu teman pacarku.”

Aku memandang matanya yang jelek, lalu tersenyum mengejek. “Oh, kamu homo ya.”

Wajahnya memerah. Beberapa detik kemudian dia mendorong dadaku lalu menjambak rambutku.

Tahu tidak?

Di sekolah-sekolah, jika kamu didorong dan dijambak tanpa alasan, guru-guru tidak akan datang karena mereka tidak digaji untuk ini. Jadi, aku harus menyelesaikan semua ini sendiri, kecuali kalau ada salah satu anak yang mau berlari ke lantai bawah untuk memanggil guru. Tapi sepertinya mereka semua lebih tertarik melihat kelanjutan adegan ini. Mereka semua tampak dungu dengan mata yang menyiratkan kehausan akan kekerasan.

Aku menatap si kakak kelas, dia belum melakukan tindakan baru. Tangannya masih di belakang kepalaku, menarik rambutku sampai rasanya beberapa helai telah rontok.

Lihat selengkapnya