Ronan
Selama seminggu, Ronan mengurusi Ramon. Dia mengecek keadaan anaknya setiap malam, mengingatkan untuk minum obat, dan memasak makanan yang enak. Roman masih tinggal di rumah, sesekali Ronan duduk berdua dengan anak sulungnya dan mereka berbicara santai, lain kesempatan mereka bekerja bersama di gudang, memisahkan barang-barang ibunya yang dibutuhkan untuk konser. Ronan berharap banyak agar hubungan mereka membaik ketika akhirnya Roman bercerita tentang pernikahannya setelah mereka makan malam, dan duduk di undakan rumah, memandangi jalanan.
“Aku ingin mengundang Ayah,” katanya dengan pelan. “Tapi itu terasa salah.”
Dengan sekuat tenaga, Ronan menahan tangis. Dia memandang jari-jarinya yang saling bertaut di antara celah kakinya, tidak ada yang bisa dia katakan. Roman juga melanjutkan dengan cepat. “Ayah tahu kalau aku sangat menyayangi Ibu kan?”
Ronan mengangguk cepat. Ronan selalu tahu bahwa Roman adalah anak Maesa. Anak itu bahkan telah memilih dengan siapa dia mau bergantung ketika umurnya tiga tahun, dia berlari ke arah ibunya yang baru pulang dari konser, dan meneriakkan kata “ibu” berkali-kali. Dia juga ingat ketika Maesa melahirkan Roman, istrinya tampak sangat bahagia, matanya berbinar cerah. Ketika Roman tumbuh dewasa, dia masih bermanja pada ibunya, tetapi bertindak seperti orang dewasa yang galak di depan Ronan. Ya, Ronan tentu tahu kalau Roman sangat menyayangi Maesa, dan dia berani mengakui kalau kasih sayang anaknya pada Maesa lebih besar daripada dirinya.
Roman mengusap matanya. “Ibu ... tidak melihatku menikah, Yah.” Suara Roman berubah serak dan bergetar. “Dia juga tidak akan melihat anakku, tidak melihatku wisuda. Aku tidak bisa membelikannya hadiah ketika mendapat gaji pertama. Aku tidak ... bisa menemuinya lagi.” Ronan menoleh pada anaknya yang sudah menangis di sampingnya, dia ingin mengusap punggung anaknya tapi seluruh tubuhnya membeku. Rasa sedih terserap ke dalam tulang-tulangnya, membuat dia tidak bisa merasakan apa pun kecuali kepedihan. “Dan, rasanya salah kalau Ayah ada di pernikahanku sedangkan Ibu tidak.”
“Ayah mengerti,” kata Ronan. Dia menepuk-nepuk lututnya. “Ayah mengerti.”
Roman menggeleng. “Ayah tidak mengerti.”
Mereka terdiam. Mata mereka menatap lurus ke depan. Roman mengusap air matanya dengan ujung kaus, lalu memejamkan mata. Sedangkan Ronan memandang rumah tetangganya yang bersinar terang, dia bertanya-tanya bagaimana rasanya berada dalam kehidupan orang lain, apakah akan seburuk miliknya?
“Jadi, bagaimana keadaan istrimu?” tanya Ronan setelah beberapa menit. “Kamu sudah meneponnya?”
Roman tidak lekas menjawab. Dia tidak menatap ayahnya ketika mengatakan, “Kami baik-baik saja.”