Ramon
Elang mengirimiku pesan ketika aku sampai di rumah.
Bocah! Tindakan berani hari ini!
Daripada membalas pesannya, aku malah keluar dari jendela untuk pergi ke rumah Elang. Sebelum aku menerobos pagar rumah, kakak memanggilku dari garasi. Aku menoleh padanya dengan kesal. Aku berniat untuk lari saja tapi kakak sudah mendekat. Dia menjulang di atasku dengan debu-debu di bajunya karena terus-menerus bekerja di gudang, mengais barang-barang ibu. “Kenapa?” tanyaku.
“Kenapa?” Dia menatapku tajam. “Kamu mau ke mana?”
Aku mengangkat bahu. “Main.”
“Oh, ya? Mau ditemani?”
Pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Aku melanjutkan membuka pagar dan keluar. Kakak mengikutiku dengan cepat. Dia berjalan di sampingku dengan langkah riang, aku mendongak ke arahnya. “Mau ngapain sih?”
“Main,” katanya.
Aku berusaha menahan diri agar tidak menendang kakinya sama seperti aku menendang tulang kering si kakak kelas. Kami berjalan berdampingan dengan kakak yang terus mengenang masa lalu. Dia menunjuk trotoar yang retak di depan kami dan berkata, “Ingat tidak? Kamu jatuh waktu belajar memakai sepatu roda di sana. Satu kali jatuh. Lalu langsung menyerah.” Dia tertawa. Aku memutar bola mata, berusaha agar tidak terpancing leluconnya. Dia juga menunjuk pohon tempat kami mengukir nama kami, toko es krim di ujung komplek (tempat pelarian terbaik saat ayah dan ibu bertengkar), rumah teman kakak yang selalu kami kunjungi karena waktu itu dia punya jaringan wifi (ketika menunjuk rumah ini kakak bercerita kalau dia sudah lama tidak bertemu temannya), lalu akhirnya lapangan basket. Kami duduk di kursi penonton mirip petarung yang kelelahan. Kakak letih karena terus berbicara sepanjang perjalanan. Sedangkan aku lelah berusaha menyingkirkan kakak untuk tidak mengikutiku.
Kami memandang lapangan yang kosong.
Kakak menyenggolku. “Dulu kita sering main di sini.”
“Aku tahu.”
“Oh, ya? Kukira otakmu hanya mampu mengingat hal buruk saja.” Dia mengatakannya dengan serius sehingga aku meninju lengan atasnya. Kakak memelototiku. Dia langsung memiting kepalaku, lalu menggigit telingaku.
“Kakak!”
“Katakan sandinya!”
“Maaf!” Dia belum melepaskanku. “Maafkan aku!”
Dia melepaskanku sambil tertawa, aku membenarkan rambutku yang berantakan. Lalu menoleh ke kiri agar kakak tidak melihatku tersenyum. Dia mengacak rambutku lagi. “Kamu sudah besar, Mon.”
“Hmm.”
“Sudah bisa menonjok anak orang.”
Kali ini aku tertawa selama beberapa saat, kakak juga. Suara tawa kami rasanya memantul di dalam diriku, setiap pantulan membunyikan hal yang berbeda, berbagai macam pengertian.
Aku mungkin bisa baik-baik saja.
Aku seharusnya tidak tertawa.
Aku mungkin bisa bahagia.
Aku merindukan keluarga kami yang dulu.
Aku mungkin bisa melanjutkan hidup.
Aku membuka mulut untuk bercerita tentang hantu ibu pada kakak ketika ponselnya bergetar. Dia mengerutkan dahi ketika melihat siapa yang menelepon, lalu membiarkannya. Ketika orang yang menelepon tidak menyerah, dia berdiri dan mengangkatnya.
“Ya? Tidak ... ya.” Kakak menoleh padaku. “Di rumah. Barang-barang Ibu sangat banyak. Aku butuh waktu. Ya! Oh, Di!” Matanya tampak lelah, dia akhirnya duduk di sampingku sambil mengatakan, “Terserah.” Dan mematikan ponselnya.