Maesa
Ganja itu masih di bawah jok, tersimpan dengan aman karena Ronan tidak pernah masuk ke dalam mobilku. Dia sepertinya tidak mau lagi menemukan hal yang membuatnya marah sehingga dia tidak mencari-cari ganja itu. Aku berterima kasih dengan keputusannya. Karena kalau sampai Ronan menemukan ganja itu, dia pasti akan membunuhku.
Seharusnya aku bisa berhenti mengonsumsi ganja. Seharusnya malam itu aku tidak merokok agar semua hal yang terjadi saat ini tidak pernah terjadi.
Semuanya dimulai ketika aku kuliah, teman sekamar di indekosku sering mengajakku ke rumah temannya, katanya untuk berpesta. Awalnya, aku menolak karena waktu itu aku masih ingin fokus pada kuliah. Pada akhirnya aku terbujuk rayuan temanku karena dia membutuhkan tumpangan. Jadi kami berada di pesta itu, yang sebenarnya lebih tepat disebut pesta ganja. Setiap orang menyembunyikan ganja dalam plastik yang ditaruh di balik baju mereka. Temanku menjulurkan lintingan ganja itu padaku ketika aku menjauh dari kerumunan. “Bersenang-senang, Sa. Nikmati segalanya sebelum terlambat.”
Aku tergelak dan mengambil lintingan itu. Aku sudah terbiasa merokok (salah satu hal yang kuwarisi dari ibu), jadi kukira aku akan langsung beradaptasi dalam merokok ganja. Ternyata tidak. Ada sensasi terbakar di kerongkongan pada awalnya, lalu rasa pusing yang hadir kemudian. Temanku mengatakan aku akan segera terbiasa.
Keesokannya temanku mengajak berbisnis, dia menjual lintingan ganja. Tanpa ragu aku membelinya. Uang saku yang diberikan ayah sering berlebih karena aku berhemat. Awalnya merokok ganja rasanya hanya menyenangkan, lama-lama aku tidak bisa lepas dari kenikmatannya. Aku menjadi sering membolos, sering berpesta, dan sambil mabuk, dalam suatu pesta aku naik ke atas meja dan bernyanyi.
Salah satu band di kampus mengajakku menjadi vokalis ketika mereka hadir di pesta dan melihatku bernyanyi. Aku terus-menerus menolak karena aku tidak mau bernyanyi lagi kecuali mabuk. Kemudian, karena kuliahku yang keteteran dan nilai-nilaiku yang merosot diketahui ayahku, dia berhenti mengirim uang. Aku berusaha mati-matian bekerja agar bisa membeli selinting ganja, lalu aku teringat tawaran anak band itu, berpikir bahwa itu bisa membantu.
Aku akhirnya menjadi vokalis mereka dan ketika ciptaan lagu mereka sangat jelek menurutku, aku juga menulis lagu untuk mereka. Untuk band kami.
Di pertengahan semester ganjil, kami mengadakan konser di panggung biru (sebutan untuk panggung permanen yang berada di Fakultas Ilmu Budaya). Konser pertama tentu gratis. Yang menonton mungkin hanya empat puluh orang. Tapi ketika band kami tampil di acara penerimaan mahasiswa baru, kami menjadi terkenal. Semua mahasiswa sepertinya mulai menerima kehebatan musik kami. Sejak saat itu, kami mengadakan konser dadakan. Setiap sebelum tampil, aku merokok ganja agar tidak gugup ketika di atas panggung. Hal itu menjadi ritual yang sulit dipatahkan.
Ketika popularitas kami merangkak keluar kampus, aku menyarankan agar kami mengadakan konser di luar, di kota-kota. Mereka semua setuju. Kami mengadakan konser kecil yang hanya dihadiri ratusan orang. Namun, penghasilannya lumayan. Jadi kami melanjutkannya.
Setahun kemudian, salah satu anggota band kami yang menjadi drumer keluar dari band dengan alasan dia mau fokus kuliah. “Ini bukan tujuan awalku,” katanya. Aku membencinya karena sangat egois. Tapi aku tidak melarangnya, sama dengan anggota yang lain. Kami terus tampil tanpa drumer, lalu akhirnya si gitaris juga keluar karena ayahnya meninggal. Tinggal aku dan satu gitaris lainnya.
Tidak ada yang suka dengan band yang hanya terdiri dari dua orang.
Enam bulan kemudian, band kami berakhir. Saat itu aku sudah di drop out dari kampus. Ayah terus mengancam tidak akan menerimaku di rumah kalau aku tidak kembali belajar di kampus. Aku tidak butuh ancamannya, aku memang tidak akan pernah kembali ke rumah.
Saat band hancur, pemasukan untuk membeli ganja pun tersumbat. Aku kembali mencari cara, apa pun.
Dan, secara kebetulan ayah meninggal dua minggu kemudian. Ternyata dia memiliki penyakit jantung. Sepertinya jantungnya sudah kelelahan tinggal di dalam tubuhnya yang selalu digunakan untuk kekerasan.
Aku kembali ke rumah hanya untuk melihat ayah untuk terakhir kalinya. Ibu tiriku dan Gina menyambutku dengan tangisan. Aku hanya berpura-pura sedih ketika di pemakaman ayah. Ternyata di pemakamannya, banyak wanita muda yang datang untung menangis. Mereka pasti para selingkuhan itu. Ibu selalu menyebut otak ayah berada di selangkangan, sekarang aku tahu artinya. Ibu tiriku tidak bereaksi banyak ketika melihat para wanita itu, dia adalah manusia tersabar yang pernah kutemui. Aku mungkin akan lebih menyayanginya kalau dia ibu kandungku.
Kematian ayah membuatku memiliki banyak uang. Sangat banyak. Saat ibu meninggal, semua warisannya diserahkan pada ayah karena aku masih kecil. Jadi ketika ayah juga meninggal, warisan ibu juga menjadi milikku.
Aku memiliki semua lukisan ibu yang belum terjual, beberapa tanah, bangunan, dan uang. Ayah hanya mewarisiku uang. Sedangkan segala propertinya dia kasihkan pada ibu tiriku dan Gina.
Aku kembali ke lingkungan kampusku membawa banyak uang dan membeli banyak ganja sampai persediaan beberapa bulan. Pada bulan-bulan itu aku hanya berada di dalam indekos, merokok ganja dan pingsan karena mabuk.
Gina mengunjungiku pada saat aku hampir mati karena sudah lama tidak makan dan minum, aku terlalu sibuk merokok ganja. Dia menutup hidungnya ketika masuk ke kamarku. “Astaga, Sa.”
Dia membersihkan kamarku, menjauhkan segala ganja dari jangkauanku, membelikanku makanan dan menyuapiku. Ketika aku sudah cukup sadar, Gina mengatakan kalau dia punya penawaran untukku. “Aku tahu kamu pernah ngadain konser.”
Ginalah yang mengangkatku dari kegelapan.
Dia membuatku menjadi seperti diriku yang sekarang.
Aku ... seharusnya aku tidak mengganja. Seharusnya aku meneruskan kuliahku, mungkin kalau ibu masih hidup waktu itu, dia akan menamparku berkali-kali sambil bertanya, “Ini yang kamu inginkan?”
Tidak, bukan ini yang aku inginkan, Bu.
Roman menyandarkan kepalanya di bahuku. Sejak kejadian di konser terakhir, setiap minggu Roman selalu pulang ke rumah untuk menemaniku. Dia menceritakan banyak hal agar aku melupakan apa yang terjadi. Tapi aku tidak melupakannya.
Apalagi semua fotoku yang setengah telanjang tersebar luas di internet, Roman pasti melihatnya. Ramon juga.
Aku datang ke sekolah Ramon dua hari yang lalu karena dia berkelahi dengan temannya yang menghinaku. Aku merasa menjadi ibu yang buruk karena membuat anakku sendiri merasa harus membelaku di belakangku. Kami tidak berbicara di dalam mobil. Tapi ketika sampai di rumah, aku menahan Ramon agar tidak keluar dari mobil.