Ronan
Laptop yang terbuka menampilkan selembar kertas yang telah terisi setengahnya. Ronan menyeruput kopi sambil memandangi layar laptop. Dia kehabisan kata-kata. Lalu suara gurunya saat SMA terdengar di dalam kepalanya. Orang-orang tidak pernah kehabisan kata-kata, kita hanya sedang berada di jalan yang salah, semua kata itu sedang bersembunyi.
Ronan menaruh kopi yang sudah dingin ke atas meja lalu membaca tulisan yang sudah dibuatnya. Jalan mana yang salah?
Sebelum menemukan jawaban, seseorang mengetuk pintu kamar. Suara Roman terdengar.
Ronan membuka pintu. Anaknya berdiri tegak di depannya, ada kelelahan yang menguar dari setiap gerakannya. “Aku harus ke galeri Paman Redi.” Dia mengatakannya seolah itu kalimat lain yang mengutarakan “aku ingin pinjam mobil”.
Ronan berbalik untuk mengambil kunci mobil di atas meja. “Kapan akan kembali?”
“Entahlah,” jawabnya. Roman sudah berbalik ketika teringat sesuatu untuk diberitahukan pada ayahnya, jadi dia menghadap ayahnya lagi. “Aku melihat Ramon memanjat jendela dan keluar rumah.”
“Apa?”
“Dia keluar.”
“Kenapa tidak dihentikan?” tanya Ronan sambil menutup pintu kamarnya dengan tergesa untuk menyusul anaknya.
“Wooo, Ayah! Bukan begitu caranya,” kata Roman menghentikan ayahnya. “Dia dalam masa-masa yang sulit. Biarkan saja dulu.”
“Maksudmu membiarkan adikmu terus-menerus terlibat pertikaian? Malam-malam begini?”
“Dia mungkin hanya sedang ke rumah temannya.”