Ruang Sunyi

Sayyidatul Imamah
Chapter #27

27

Ramon

Pesta itu memang berada di tempat tinggal orang kaya. Setiap rumah yang kami lewati terlalu besar untuk disebut rumah, terlalu berlebihan untuk disebut istana, dan terlalu memakan banyak tempat. Elang menyebut rumah-rumah itu tidak hidup. “Itu masalahnya dengan orang kaya,” kata Elang. “Mereka tidak tahu caranya bersenang-senang.” Aku tahu dia mengutip kalimat itu dari film atau buku.

Kami turun dari mobil milik ayah Elang sambil menatap rumah teman Elang yang mengadakan pesta. Terlihat banyak anak-anak di halaman, ada yang berdiri, tiduran di rumput, dan banyak orang duduk di undakan. Elang dan tiga temannya langsung disapa dan menyapa orang-orang itu, sedangkan aku hanya berjalan lurus dan sesekali menunggu Elang untuk berjalan kembali ketika dia dihentikan oleh temannya.

Akhirnya kami masuk ke rumah besar itu, yang kelihatan sangat mewah karena lampu pesta dan kelihatan murahan karena patung-patung yang memenuhi ruang depan. Teman Elang yang mengadakan pesta memakai jas kedodoran yang dirobek di bagian bahu, celana olahraga setinggi paha, dan dia memakai lipstik. Dia menyebut dirinya Joker. Aku terkejut karena dia tidak menyebut dirinya orang gila.

Elang langsung bergabung dengan teman-temannya, kami sering terpisah sehingga aku terus mencari-carinya. Rumah ini mungkin akan terlihat luas kalau semua orang pergi keluar. Tapi semua yang berpesta berkumpul di dalam sambil mendengarkan musik. Mereka semua bergoyang, menggoda, minum, dan berbicara dalam waktu bersamaan, membuatku tidak mengerti apa yang sedang mereka lakukan.

Ketika aku tidak bisa lagi menemukan Elang, aku pergi ke bagian belakang rumah yang ada kolam renang dan tamannya. Ada beberapa anak yang berenang, setengahnya bergumul di salah sudut taman, tampak merokok dan minum minuman kaleng.

Aku duduk di undakan yang dekat dengan kolam renang, mereka tidak memperhatikanku. Aku juga tidak mau mereka sampai memperhatikanku karena mereka makhluk-makhluk idiot yang tidak tahu caranya berpesta. Dulu ibu biasanya mengadakan pesta ulang tahun kami dengan cara yang unik. Kami selalu hanya merayakannya berempat, di ruang tamu. Ibu menghidupkan saluran karaoke di televisi, lalu kami bernyanyi bergantian, terkadang bersama-sama. Ketika sudah lelah, ibu akan membawa kue dan meletakkannya di meja. Orang yang berulang tahun akan mendapat colekan krim di seluruh muka, dan kue itu akan kembali berakhir di dalam kulkas, karena tidak satu pun di antara kami yang terobsesi dengan kue. Itu masa-masa yang indah. Aku biasanya mencuri-curi kesempatan untuk bersandar pada ibu, mendengarkan detak jantungnya, dan dadanya yang naik-turun. Dia akan mengusap kepalaku sambil berbicara dengan kakak atau ayah.

Semua itu tidak terlihat di sini. Suasana nyaman yang diciptakan ruang keluarga dengan pesta penuh nyanyian. Yang terlihat di sini hanyalah makhluk-mahluk yang mencoba meyakinkan diri mereka kalau mereka bersenang-senang. Mungkin, seharusnya aku tidak datang. Sekarang, aku ingin bermain game di kamarku. Menikmati suara tembakan yang memantul di dinding.

Ponselku bergetar ketika aku sedang berdiri untuk pergi mencari Elang. Si gadis kelereng mengirim pesan, dia menanyakan keberadaan Elang. Aku tidak membalasnya. Tapi kemudian aku teringat wajah kakunya saat aku, Elang, dan orang tuanya makan. Aku teringat dengan wajahku sendiri saat berada di tengah-tengah keluargaku. Mungkin dia hanya sedih karena orang tuanya meninggal. Meskipun semua pikiran itu melandaku, aku tetap tidak membalas pesan si gadis kelereng.

Baru ketika dia menelepon, aku mengangkatnya.

“Elang di mana?”

“Tanya dia,” kataku.

“Tidak diangkat.”

Aku berdiri di dekat pintu belakang rumah, sesekali orang-orang melewati tubuhku dengan cepat untuk berlari ke kolam renang. Si gadis kelereng mendesah di ujung telepon. “Harusnya dia menjemputku satu jam yang lalu.”

Aku masuk ke dalam rumah untuk mencari Elang, dia masih tidak terlihat bersama teman-temannya yang tadi ikut bersama kami di dalam mobil. “Di pesta temannya,” kataku pada si gadis kelereng.

“Oh.” Dari suaranya, aku membayangkan dia memejamkan mata, mencoba bersabar. “Lama gak?”

Di dekat dapur, aku melihat tangga yang tersembunyi karena modelnya yang jelek. Aku menaiki tangga ke lantai atas, melihat beberapa orang berdiri di depan pintu yang berjejer sepanjang dinding. “Gak tahu.”

“Ya sudah, aku jalan aja.”

Dia tidak mematikan telepon ketika mengatakan itu, dia menungguku mengatakan sesuatu. Apa yang mau dia dengar? Aku memberikan ponsel ini pada Elang? Aku yang menjemputnya?

Teman Elang keluar dari salah satu pintu tepat ketika si gadis kelereng mamatikan ponselnya.

“Di mana Elang?” tanyaku. Dia memegang gagang pintu dengan tubuh limbung. “Si gadis ... maksudku, Andra mencari Elang.”

“Ha?” Dia mundur selangkah, lalu maju lagi. “Aku mau buang air.” Lalu dia berlalu seolah tidak mendengar pertanyaanku.

Aku langsung membuka pintu dan melihat Elang serta teman-temannya berbaring di karpet, asap rokok (yang baunya aneh) memenuhi ruangan. Tuan rumah yang mengadakan pesta mengangkat kepalanya ketika melihatku. “Tutup pintunya!”

Aku menutup pintu. Elang telentang menatap langit-langit, berbicara seperti orang mabuk.

Dia memang mabuk.

Lihat selengkapnya