Maesa
“Jadi, kamu mau bilang kalau aku berkhayal?” Aku berjalan mondar-mandir di depan Gina, jari-jariku bergetar di samping tubuh. “Aku ingat dengan jelas, Gin! Tangannya....” Sekarang seluruh tubuhku yang bergetar. “Dia salah satu pengawal. Aku yakin itu. Dia yang terakhir bersamaku. Kita harus mencari datanya, lalu menemuinya—“
“Sa!” Gina menginjak rokoknya. “Kamu mau nemuin orang itu, lalu apa? Nanya, ‘Hai, aku Maesa yang kamu jaga dua minggu lalu. Ingat aku?’ Begitu? Itu yang mau kamu katakan?”
“Satu minggu lima hari, Gin! Itu tidak terlalu lama.”
Gina menatap nanar ke arahku, bibirnya bergerak-gerak siap untuk mencemooh. “Kamu di bawah pengaruh ganja, Sa.” Gina mengatakannya dengan pelan, seolah tidak mau menyakitiku dengan kata-kata itu. “Kamu hanya ... mabuk. Dan, berhalusinasi.”
Aku mengepalkan kedua tangan. “Aku tidak berhalusinasi! Ingatan itu sangat ... nyata, Gin. Dia merobek gaunku, tangannya....”
Tangannya mendorongku, meremas, dan menampar.
Suara-suara dan semua gambaran itu terasa nyata sekarang. Awalnya, hanya ada potongan-potongan gambar yang tidak menjelaskan apa-apa. Seperti mimpi yang telah dilupakan. “Kamu yang bilang sendiri aku ditemukan di gang! Kenapa aku di gang? Seharusnya aku—“
“Pintu samping bar dekat dengan panggung, Sa. Kamu mungkin berjalan sempoyongan ke sana.”
“Buat apa?”
Gina mengangkat bahu. “Kamu mabuk.”
“Berhenti membuat itu sebagai alasan! Seseorang memerkosaku!” Kata memerkosa membuatku ketakutan, tetapi saat mengatakannya keras-keras itu membuatku merasa bisa membangun suatu perlindungan. “Itu yang penting!”
Kali ini Gina tidak memandangku, dia tidak pernah memalingkan muka jika berbicara dengan seseorang, kalaupun dia memalingkan muka itu artinya dia sudah kehilangan kesabaran. Benar saja, bibirnya bergerak cepat mengatakan sesuatu yang menusuk pori-poriku.
“Kamu sendiri yang melompat ke kerumunan itu, Sa. Itu kemauanmu.”
Seolah mau mengatakan: kalau kamu telanjang, dilecehkan, dan diperkosa, itu semua salahmu.
Air mataku mengalir pelan, butiran gemuk yang mengalir sampai dagu dan bergetar di sana. “Kamu tidak percaya,” kataku dengan suara bergetar.
“Sa, daripada bicarain itu semua. Mending kita atur ulang konser terakhirmu. Segalanya memang berjalan kacau, tapi kalau kamu mau tampil lagi, orang-orang pasti bakalan nonton.”
“Bakal memerkosaku, Gin! Orang-orang datang untuk melecehkanku!”
Gina mengusap wajahnya. “Maesa.”
Jika dia menyebut namaku dengan lengkap, artinya dia sudah berada pada puncak kemarahannya. Saat kami masih remaja, dia selalu menyayangiku, tapi jika aku melewati batas, dia akan membalas dendam dengan cara yang lebih parah. Aku pernah menghilangkan kalung kesukaannya yang dibelikan ayahku, lalu dia menarikku ke dalam lemari di kamar orang tua kami dan kami mendengarkan percakapan ayah dan ibu tiriku. Percakapan ketika ayah mengatakan kalau dia bersyukur ibuku mati. “Dan, akan sangat melegakan kalau Maesa ikut Ibunya.” Begitu kata ayah. Kata-kata itu tertancap dalam di suatu tempat dalam tubuhku, bertumbuh menjadi sesuatu yang lain, sehingga aku sering melarikan diri pada ganja jika mengingatnya. Ayah mengharapkanku mati bersama ibuku. Dia sama saja dengan ibuku yang pernah mau membunuhku.
Ayah dan ibu.
Sama-sama menginginkan kematianku.
Gina juga sepertinya ingin mengatakan yang sama. Dia ingin aku mati karena aku tidak berguna, karena aku wanita yang telah mengatakan kalau dirinya diperkosa satu minggu sebelumnya setelah hampir bercinta dengan suaminya (yang sudah lama tidak disentuhnya) karena ingatan itu menjadi jelas saat suaminya menyentuhnya.
“Siapa pun pria yang kamu cari, kamu tidak akan menemukannya, Sa. Malam itu kacau banget. Pengawal dan staf yang kita punya cuma sedikit. Mungkin saja orang yang membawa kamu keluar dari kerumunan adalah orang asing juga. Dan, kita gak bisa dapat datanya dari mana pun. Mereka datang untuk melihatmu bernyanyi, tapi kamu ... kamu yang melompat ke arah mereka, Sa. Bukan mereka yang naik ke atas panggung mirip hewan buas, mereka hanya menangkapmu. Mereka hanya mengikuti alur yang kamu buat. Sudah cukup sibuk aku menghapus foto-fotomu di internet, aku membayar banyak orang agar kamu bisa hidup tenang. Dan, sekarang.” Gina merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. “Kamu mau melapor bahwa kamu telah diperkosa? Seolah itu tidak akan menambah masalah. Kalau kamu bilang padaku saat baru sadar di kamarku, mungkin kita bisa mengurusnya. Tapi, sekarang sudah terlambat, Sa.”
Aku sudah setengah berjalan ke arah sofa untuk mengambil tas, tanganku yang bergetar menyebabkan tas itu bergoyang. Aku berbalik untuk pergi dari sini. Dari Gina. Yang dulu menyelamatku tapi juga mendorongku pada kehancuran, secara perlahan. Kalau saja dulu aku tidak menyetujui sarannya untuk menjadi penyanyi, mungkin nasibku tidak akan berakhir seperti ini. Lebih baik aku mati karena ganja di indekosku daripada terus dibayang-bayangi ingatan itu. Suara gaunku dirobek, ritsleting dibuka, dan erangan yang panjang.
Aku tidak berhalusinasi.