Ronan
Sudah dua hari, dan Roman belum kembali bersama mobilnya. Malam itu dia hanya menyambut Ramon yang pulang tanpa menambah lebam di wajah. Mereka bertatapan sebentar, sebelum Ramon masuk tanpa mengatakan apa-apa.
Semalaman dia menunggu Roman datang, tetapi saat dia bangun di undakan karena suara pintu yang dibuka oleh Ramon, Roman masih belum datang. Mereka makan berdua pagi itu. Ramon tidak pergi ke sekolah karena diskorsing selama tiga hari, jadi Ronan meminta anaknya itu agar di rumah. “Ayah sudah membiarkanmu keluar tadi malam.”
Ramon memang tetap di kamarnya, dia keluar kamar hanya jika ingin minum atau makan.
Ronan terus-menerus menunggu telepon dari anak sulungnya. Pada siang hari, dia memutuskan untuk menelepon polisi karena mengira Roman kecelakaan. Tapi seharusnya ada yang mengabarkannya kalau Roman kecelakaan. Jadi, dia pergi ke kamar Ramon dan meminta nomor telepon kakaknya.
Ramon memberikan nomor ponsel kakaknya sambil berkata, “Dia punya masalah.”
“Apa?”
“Dengan keluarganya.” Ramon menatap ayahnya. “Dia bertengkar dengan istrinya.”
Saat itu juga, Ronan langsung menelepon anaknya. Tapi Roman tidak menjawab padahal nomornya aktif. Mungkin dia sedang memperbaiki keluarganya. Mungkin dia sedang di rumah istrinya.
Ronan terus menunggu anaknya di undakan, memandang halaman rumah berharap mobilnya yang berisi Roman terlihat di sana.
Sudah dua hari anaknya belum pulang. Rumah kembali sepi dengan hanya keberadaan mereka berdua. Ramon tidak meminta untuk keluar, dia terus-menerus berada di dalam kamarnya, memainkan game. Meski begitu, keadaan rumah seperti tidak memiliki penghuni. Mereka hanya saling berbicara kalau menyangkut hal yang tidak penting, seperti menyuruh makan, mengoper kecap, mengatakan kalau susu sudah habis, dan lainnya.
Ronan tidak melanjutkan menulis karena pikirannya penuh oleh berbagai macam pertanyaan tentang anaknya. Kenapa dia tidak pulang? Tidak menelepon?
Lalu, dia ingat kalau Roman pamit ingin pergi ke galeri Paman Redi. Ronan langsung ke sana menggunakan ojek online. Di galeri yang hanya dikunjungi beberapa orang, Ronan menemukan Paman Redi duduk santai dalam ruangannya. Mereka berbasa-basi sebentar, lalu Ronan menanyakan keberadaan Roman.
“Dia ke sini malam-malam untuk mengambil salinan lukisan yang dia minta.” Paman Redi berdiri. “Sini, aku tunjukkan apa yang dia ambil.”
Mereka berjalan di ruangan yang memajang lukisan-lukisan—yang tidak pernah bisa Ronan mengerti sisi keindahannya. Menurutnya itu hanya gambar yang sama seperti gambar-gambar di internet. Kenapa orang-orang mau datang ke sini kalau bisa melihatnya hanya melalui layar ponsel atau laptop?
Paman Redi menunjukkan satu lukisan padanya. Lukisannya nenek Maesa. Dia tahu itu karena Maesa selalu memajangnya di rumah lalu memindahkannya ke kantornya. Itu lukisan seorang wanita telanjang yang terlihat dari belakang, sedang menggendong anak kecil di pinggir pantai.
Roman mengambil salinan lukisan ini? Kenapa?
“Ini lukisan yang paling disukai Maesa.” Saat menyebut nama Maesa, Paman Redi menjadi emosional. “Aku tidak percaya telah hidup lebih lama dari anak itu.” Kemudian, dia bercerita tentang Maesa saat masih kecil, bagaimana pendiamnya gadis kecil itu, keadaannya dengan ibunya yang sibuk melukis, lalu potensinya menjadi penerus ibunya. “Tapi dia tidak mau melakukan apa yang ibunya lakukan. Aku tidak tahu kenapa dia sangat membenci Sarah. Itu tidak masuk akal.”
Ronan terus mendengarkan meskipun tujuannya ke sini bukan untuk itu. Dia hanya ingin tahu ke mana Roman pergi. Lagian, dia sudah sering mendengar kisah masa kecil Maesa dari mulut istrinya sendiri. Mereka sering berbagi kisah kelam setiap malam, ketika belum menikah. Ronan tahu kalau ayah Maesa sama seperti ayahnya, pencinta kekerasan yang hidup seperti iblis. Mungkin, itu juga salah alasan kenapa Ronan memutuskan untuk menikahi Maesa. Karena dia merasa mereka berdua bisa saling mengerti.
Setelah mendengarkan cerita-cerita Paman Redi, Ronan langsung pulang karena tidak mendapat info penting keberadaan Roman. Dia kembali ke rumah sambil memikirkan segala tindakannya terhadap Roman. Apa anaknya tidak akan kembali? Kapan dia akan pulang lagi? Bagaimana kalau dia tidak akan pernah pulang?
Ronan tertidur dengan segala pertanyaan itu.
Saat Ramon sudah bisa bersekolah karena masa skorsnya sudah habis, Ronan mengantarnya menggunakan bus. Mereka hanya punya satu mobil, yang dibawa Roman dan anak itu belum pulang. Ramon terus-menerus mendelik pada ayahnya karena duduk di sampingnya, anak bungsunya juga terus membentaknya mengatakan kalau dia tidak perlu diantar. “Aku bisa naik bus sendiri!”
Ronan tahu itu, dia hanya ingin punya alasan untuk pergi ke sekolah Ramon.