Ramon
Kipas angin menyala di sudut ruangan, membuat beberapa kertas di atas meja rentan beterbangan. Tapi si guru konseling hanya membiarkannya. Sejak tadi dia fokus bertanya tentang perasaan, tujuan, dan bahkan cita-citaku. Seandainya sekolah tidak mewajibkanku pergi ke sini setiap minggu, aku tidak akan datang. Lebih baik berada di lab, diabaikan oleh teman sekelompok daripada duduk dengan perasaan kesal pada si guru konseling.
“Ramon, kapan pun kamu siap untuk bicara—“
“Kenapa?” Aku mengetukkan jari di atas meja. “Kenapa aku harus bicara?”
Si guru konseling tersenyum. “Karena apa yang kamu perbuat pada temanmu minggu lalu harus dibicarakan. Selalu ada pemicu untuk segala tindakan, Ramon. Apalagi itu perkelahian. Kamu mau membicarakannya?”
Aku pernah kehilangan dua gigi karena bertengkar dengan kakak saat kami merebutkan mainan yang dibelikan ayah. Ibu memarahi kami berdua, mengatakan kalau kami bisa saja menjadi preman kalau terus-menerus begitu. “Segalanya tidak harus memakai kekerasan. Jika kalian sudah mampu saling merontokkan gigi begini, saat dewasa nanti kalian akan terbiasa dengan kekerasan yang jauh lebih berat. Dan, kalian akan merasa itu tidak apa-apa untuk menyakiti orang lain. Kalian mau jadi orang yang seperti itu? Yang sering menyakiti orang lain?” Ibu menepuk pipiku. “Ibu sangat menyayangi kalian, dan tidak mau itu terjadi pada kalian.”
Mataku memanas, wajah si guru konseling mulai tampak buram. “Aku hanya berusaha membela diri,” kataku. “Dia yang mulai duluan. Aku tidak pernah memancing perkelahian.”
“Tapi, kamu memukul Fadli berulang kali, Ramon. Kamu tetap memukulnya saat dia sudah tidak mampu melawan.”
Aku mendongak. “Dia menghina Ibu.”
“Menurutmu itu yang Ibumu inginkan? Kamu memukul orang lain sampai babak belur demi Ibumu?”
Tentu saja ibu tidak pernah mau aku menjadi seperti ini.
Aku menggeleng.
Si guru konseling menyerahkan kertas padaku. “Kudengar kamu senang menggambar. Kamu mau menggambarkan perasaanmu sekarang?”
Aku memandang kertas-kertas itu, serta spidol berwarna di sampingnya. Tidak membutuhkan waktu banyak sampai aku memenuhi kertas dengan warna-warna cerah, bulatan-bulatan abstrak yang sudutnya tajam serta berlekuk, intinya berwarna pekat dan bulat.
Si guru konseling menatap gambarku saat aku selesai menggambar. “Sekarang, bagaimana perasaanmu?”
“Jauh lebih baik.”
Di pelajaran terakhir, aku menemukan esai yang diberikan si gadis kelereng ketika mencari pulpen di kolong meja. Pertama kali membaca, aku membacanya dengan cepat. Lalu, membacanya lagi, kali ini lebih teliti. Aku tidak yakin si gadis kelereng mempresentasikan lukisan serta esai ini. Mana mungkin dia membacakan semua hal ini?