Maesa
Enam tahun yang lalu aku melewatkan usia ibu saat meninggal. Rasanya aneh mengetahui aku masih hidup sedangkan ibu tidak. Sekarang, aku enam tahun lebih tua darinya ketika dia memutuskan untuk pergi.
Tepat ketika umurku sama dengan ibu, aku bertanya-tanya apakah aku akan bertahan hidup. Atau, aku akan berakhir seperti ibu.
Nyatanya, aku bertahan. Enam tahun lebih lama.
Aku mengatakan itu pada pria di sampingku, bahwa aku lebih tua dari ibuku. Dia tertawa sambil mengepulkan asap rokoknya. Aku tertawa juga. “Miris,” kataku.
Pria itu mengecup pipiku. “Jangan menangis terus, habiskan ganjanya, manis.”
Kami bertemu lagi, dengan keadaan yang sama ketika terakhir kali bertemu. Sama-sama mabuk, lalu menanggalkan pakaian, dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Pakaian kami teronggok di atas lantai, terlihat kesepian.
Aku memandangi pakaian itu dan berpikir, apa mereka merasa dicampakkan?
Pria di sampingku bercerita tentang ibunya yang alkoholik, dan bagaimana teman-teman ibunya melecehkannya. “Miris,” katanya.
Kami tertawa lagi. Bersama asap rokok yang berputar-putar di atas kami.
“Ibuku pelukis. Dia melukis.” Aku meneguk ludah. “Dia pernah mau membunuhku, pernah juga memancing agar aku dibunuh ayahku. Hubungan kami tidak terlalu baik, tapi hanya dia satu-satunya yang kupunya. Aku menyayanginya.”