Kau membuatku khawatir."
Itu kalimat pertama yang keluar dari bibir Ayu pagi itu, saat dia dan Ayu duduk di kafe kecil yang biasa mereka datangi. Langit masih malu-malu membuka hari, dan aroma kopi hangat baru saja memenuhi ruang di antara mereka.
"Kenapa?"
"Kenapa?" Mata Ayu melotot. Mengulang kalimat Rindu dengan nada, kesal. "Kau ke dermaga lagi dan aku seharian panik kau di mana tapi tiap aku chat, tak ada satu pun kau memberi tahu kalau kau ada di dermaga!"
"Aku kan balas chatnya. Aku bilang...."
"Kau bilang kau ingin sendirian," potong Ayu. "Bisa nggak sih kalau mau sendirian jangan ke dermaga!" sahut Ayu protes. "Kau bisa membuat jantungku berpacu lebih cepat."
"Nggak usah lebay."
Ayu masih menatap kesal.
"Kalau ke sana lagi, jangan sendirian. Kau dengar?" Ayu melihat Rindu, penuh permohonan.
"Aku baik-baik saja." Rindu tersenyum tipis, di sudut bibir. "Jangan cemas berlebihan seperti itu. Aku hanya capek, Yu. Beneran capek."
Ayu mengangkat alis. “Capek gimana dulu nih? Capek kerja, capek mikir, atau… capek hidup?”
“Semua,” jawab Rindu lirih. “Tapi terutama capek jadi orang yang selalu menunggu.”
Ayu tak langsung menjawab. Dia menyesap cappuccino-nya pelan, menatap sahabatnya yang duduk dengan wajah kusut, mata sembap, dan tangan gemetar kecil saat mengaduk kopi hitamnya.
"Jangan menunggu. Simple, kan?" jawab Ayu, masih sesekali menyesap cappucino-nya. "Hidup punya banyak pilihan."
"Teorinya seperti itu, kan?"
“Masih tentang dia?” tanya Ayu akhirnya.
Rindu mengedikkan bahu. "Entahlah."
"Pernah terpikir nggak, kalau dia di sana melakukan hal yang sama?"
"Aku nggak berani berharap."
"Tapi pusaran kau selalu tentang dia, kan?"
Rindu mengangguk pelan. “Tapi bukan karena aku masih menunggu dia kembali. Lebih karena... aku sadar, aku ternyata kosong banget tanpanya.”
Ayu menyandarkan tubuh ke kursi, menatap langit-langit sejenak, lalu menatap Rindu lagi. “Kamu sadar itu hal baik, kan?”
“Bagian mananya yang baik, Yu?” suara Rindu nyaris pecah. “Bagian menyadari bahwa aku udah kehilangan jati diriku sendiri?”
“Justru itu,” Ayu tersenyum. “Kamu sadar. Dan sadar itu langkah pertama sebelum sembuh.”
Rindu mengembuskan napas panjang. Pagi ini dia datang tanpa rencana untuk bicara. Tapi mulutnya justru tak berhenti mengeluarkan isi hati. Mungkin karena Ayu satu-satunya orang yang tidak menuntut penjelasan.
Ayu satu-satunya orang yang menyediakan telinganya tanpa menghakimi. Menyediakan bahunya dan membiarkan tangis tumpah di sana, tanpa bertanya.