"Kau pasti sudah nggak waras, Rindu!" suara hatinya terdengar, bercampur bisingnya kepala.
Rindu berdiri terpaku. Matanya masih tertuju ke pintu toko buku tempat cowokl itu menghilang beberapa detik lalu. Langkahnya setengah maju, setengah ragu. Hatinya ribut. Pikirannya gaduh.
"Bukan, Rindu. Jangan mulai lagi," bisiknya pelan pada diri sendiri.
Tapi kaki itu tetap melangkah. Bertempur dengan larangan yang tak berhenti didengungkan otaknya.
Toko buku kecil itu sunyi. Deretan rak kayu dipenuhi buku-buku berwarna lusuh, dan aroma kertas tua yang menguar membuat suasana menjadi tenang sekaligus asing. Rindu masuk pelan-pelan, seolah takut mengganggu sesuatu yang suci.
Dia melihat sekeliling. Tidak ada siapa-siapa. Hanya seorang penjaga toko tua yang duduk di balik meja kasir, tertunduk menekuni koran pagi.
"Selamat pagi," sapa Rindu, gugup.
Penjaga toko mengangkat kepala, mengangguk sopan. "Mau cari buku tertentu, Nak?"
Rindu menggeleng. "Tadi ada... seseorang masuk ke sini. Cowok, pakai jaket hitam. Tinggi. Rambut agak acak."
Lelaki tua itu tersenyum samar. "Banyak pembaca seperti itu mampir ke sini. Mungkin dia di lorong belakang."
Rindu mengangguk pelan, lalu berjalan ke lorong paling ujung.
Dan di sanalah dia.
Pria itu berdiri membelakangi, memandangi barisan buku sastra klasik. Tangannya menyentuh punggung buku To Kill a Mockingbird, namun belum menariknya.
Rindu ragu. Harus apa dia sekarang? Bilang ‘halo’? Atau pura-pura lewat?
Tiba-tiba pria itu bicara tanpa menoleh.
"Kau ternyata benaran mengikuti aku?"
Suara itu... sama seperti semalam. Tenang, tapi menusuk.
Rindu tersentak. "Aku... aku cuma...."
"Apa kau selalu masuk ke toko buku hanya karena ngeliat orang yang kebetulan menolong kau semalam?" tanya cowok itu tanpa menoleh. "Atau rasa penasaranmu memaksa kakimu melangkah untuk mencari?"
Sekarang cowok itu berbalik. Sorot matanya tajam, tapi bukan marah, lebih ke... bertanya. Seolah ingin tahu niat Rindu yang sebenarnya.
"Aku nggak mengikuti kau," sanggah Rindu cepat. "Aku... ya kau benar, cuma... penasaran."
"Kenapa penasaran?"
Rindu terdiam. Kenapa, ya? Entahlah, dia mengedikkan bahunya, tak mengerti.
Cowok itu masih memandangnya, menunggu jawaban yang keluar dari bibirnya. Sorot matanya tajam, tapi entah kenapa mata itu malah membuatnya tenang.
Rindu tertegun oleh pikirannya sendiri. Tenang? Kau merasa tenang melihat cowok itu? tanya hatinya, beruntun.
Cowok itu masih menunggu, dan Rindu menghembuskan napas perlahan.
"Aku nggak tahu," jawabnya akhirnya. "Mungkin karena kau muncul tiba-tiba saat aku lagi ngerasa jatuh-jatuhnya. Saat aku merasa duniaku kosong. Terus kau tanpa ragu bertanya, aku baik-baik aja? Entahlah, aku nggak tahu kenapa, tapi itu...."
"Berarti?"
Rindu terdiam. Berarti? ulangnya di hati.
"Apa sapaan sederhana seperti itu membuatmu berarti?"
"Berarti?" Rindu mengedikkan bahunya, lagi. "Mungkin lebih tepatnya, aku belum selesai berdamai sama diriku sendiri."