"Aku tahu kau di dalam, Rindu. Buka pintunya."
Suara itu terdengar dari balik pintu, pelan tapi mantap. Tidak menggedor. Tidak memaksa. Tapi cukup untuk membuat jantung Rindu berdetak tak karuan. Dia berdiri terpaku di tengah ruangan, ponsel masih tergenggam erat di tangannya, dengan pesan terakhir yang belum bisa ia cerna utuh.
Kau belum seharusnya tahu siapa aku, tapi segalanya akan berubah malam ini.
Dia menahan napas, menatap pintu yang tertutup rapat itu. Suara itu... bukan Ayu. Bukan juga suara Adrian. Tapi ada sesuatu yang familiar, entah dari mana. Rindu mencoba mengingat, tapi pikirannya seperti kabur. Kabut tebal menghalangi ingatannya menyusuri masa lalu.
"Rindu, kalau kau tidak buka, aku akan menunggu di sini sampai kau siap."
Suara itu terdengar lagi. Tenang, sabar, tapi cukup tajam untuk menusuk ke bagian dirinya yang selama ini dia sembunyikan dari luar.
Dengan tangan gemetar, dia melangkah pelan ke arah pintu. Setiap langkah seperti memindahkan batu besar dari dadanya. Dia ingin tahu siapa di balik sana. Tapi dia juga takut. Takut pada kemungkinan bahwa malam ini akan mengubah segalanya... seperti yang tertulis di pesan itu.
Klik.
Kunci pintu diputar. Gagang pintu digenggamnya erat. Tapi Rindu tidak langsung membukanya penuh. Hanya setengah. Cukup untuk melihat siapa di luar sana.
Dan di sanalah dia. Cowok itu. Berdiri tenang, mengenakan kemeja putih dan celana gelap, tubuhnya sedikit membungkuk seolah membawa beban tak kasat mata. Wajahnya teduh... tapi matanya menyimpan sesuatu yang asing. Luka. Atau... rahasia?
Rindu menatapnya, lama. Mengerutkan keningnya. "Kau siapa?"
Cowok itu tidak langsung menjawab. Tatapannya jatuh ke lantai sejenak, lalu kembali menatap mata Rindu.
"Aku... kau tidak mengenalku, Rindu? Atau semesta memang mengubur ingatanmu tentangku?"
Rindu mengerutkan kening. "Aku nggak mengerti."
"Aku tidak datang untuk membuatmu mengerti malam ini," katanya. "Aku datang karena waktunya sudah tiba."
"Waktu apa?"
Cowok itu menarik napas dalam. "Untuk membongkar kebenaran yang selama ini kau kira tidak ada."
Hening.
Rindu membuka pintu sedikit lebih lebar, tubuhnya masih berjaga. "Kalau kau mau bicara, bicara sekarang. Aku bukan tipe yang suka teka-teki."
"Aku tahu. Kau selalu benci hal-hal yang menggantung tak jelas."
Kalimat itu membuat Rindu menegang. "Kau... dari mana kau tahu itu?"
Cowok itu tersenyum tipis. "Karena aku pernah menjadi bagian dari cerita yang kau tutup rapat."
Tangan Rindu gemetar lagi. "Kau...?"
Dia menggeleng. Seolah tahu apa yang dimaksud Rindu.
"Kau siapa?!"
"Aku orang yang menyaksikan bagaimana kau belajar kehilangan. Bagaimana kau pura-pura bahagia sambil menggenggam luka. Aku bukan Johan. Tapi... aku tahu apa yang dia tinggalkan padamu."
Langit malam di luar sana bergemuruh, seolah ikut mengiringi ketegangan yang tak terucap. Rindu mundur selangkah, pintu tetap terbuka tapi dia menjaga jaraknya.
"Apa yang kau mau dariku?"
"Kejujuran."