Ruang Untuk Rindu

Diah kurniawati Ade Tenu Kurnia
Chapter #5

Bab 5. Luka yang Tidak Pergi

"Aku pernah bilang ke diriku sendiri, aku akan berhenti berharap.”

Rindu duduk di warung kopi kecil dekat kantor, tangan kirinya memegang cangkir yang isinya tinggal setengah. Pandangannya kosong menembus jendela kaca. Tapi pikirannya tidak sedang melihat ke luar... justru ke dalam dirinya sendiri.

Hari ini terasa lebih sepi dari biasanya. Atau mungkin, dia yang sedang terlalu peka.

Percakapan semalam, suara misterius, amplop cokelat, pesan dari A, dan seseorang yang datang membawa kebenaran... semuanya masih berputar di kepalanya seperti kaset yang terus diulang. Tapi anehnya, yang justru membekas paling lama adalah satu hal... tatapan Adrian.

Sorot mata yang tak bertanya, tapi seolah sudah tahu. Dan itu membuatnya gelisah.

*

"Jadi, kamu udah mulai berani keluar rumah tanpa paranoid lagi?"

Suara itu membuat Rindu menoleh cepat. Adrian.

Dengan kaus putih sederhana dan jaket abu yang disampirkan, dia berdiri di sisi mejanya. Senyum kecil menggantung di wajahnya.

“Kau ngikutin aku?” Rindu langsung defensif, keningnya berkerut.

“Bukan. Tapi kita memang hidup di kota yang terlalu kecil untuk sebuah rahasia,” jawab Adrian ringan. “Boleh duduk?”

Rindu mengangguk singkat, dan cowok itu menarik kursi, lalu duduk berhadapan dengannya. Untuk sesaat, tidak ada yang bicara. Hanya suara barista dan denting sendok dari meja lain.

“Kau kelihatan capek,” ujar Adrian pelan.

“Aku memang capek.”

“Karena semua yang muncul belakangan ini?”

Rindu tak menjawab. Matanya hanya menatap cangkir kopinya, seolah di dasar cangkir itu ada jawaban yang belum dia temukan.

“Kau tahu apa yang paling melelahkan dari luka?” tanya Adrian tiba-tiba.

“Apa?”

“Saat kau berpikir sudah sembuh... lalu satu hal kecil menyentuhnya, dan semuanya berdarah lagi.”

Rindu mengangkat wajah. Menatapnya. “Kenapa kau bicara seperti tahu banyak tentang luka?”

“Karena aku pernah disuruh sembuh tanpa benar-benar diberi waktu untuk menangis.”

Rindu diam. Kata-kata itu menampar lembut. Pelan, tapi membekas.

“Kau... kehilangan seseorang?”

Adrian menunduk sesaat, lalu mengangguk. “Iya. Tapi aku lebih kehilangan diriku sendiri, setelahnya.”

Keheningan merambat di antara mereka. Tapi bukan hening yang menyakitkan. Justru hening yang terasa seperti ruang untuk bernapas.

“Aku kemarin... dapat foto lama,” kata Rindu akhirnya. “Aku nggak bisa mengingat siapa orang di sebelahku. Tapi rasanya aku kenal.”

Lihat selengkapnya