Bab 02. Pangeran, siapa namamu?
Di lain sisi, di lain waktu, seorang pemuda yang sedang memegang sebuah tongkat pendek berhiaskan permata besar memalingkan wajahnya dari pandangan didepannya. Pria tanpa kepala yang beberapa saat yang lalu telah dipenggal karena hukumannya itu. Padahal si pemuda tau bahwa pria paruh baya itu tidak bersalah namun dirinya tidak menghentikan hukuman itu. Karenan memang, "Sudah seharusnya begitu".
"Inilah yang tidak aku sukai dengan pekerjaanku"
Pemuda itu menghela nafas panjang, seolah semua beban yang ada akan luntur setelah melakukan itu. Melihat pemandangan didepannya, suara hati kecilnya kadang merasa sangat bersalah karena tidak bisa mengungkapkan fakta dan membuat orang yang tidak bersalah mati. Namun sekali lagi, pemuda itu memantapkan "Sudah seharusnya begitu".
"Kenapa tidak menempatkanku pada divisi lain saja? Kenapa aku harus menjaga keseimbangan dunia ini? Bisakah ada yang memberitahu ku 'mengapa'?" Pemuda itu kembali menghela nafas yang kali ini sedikit lebih kasar dari yang sebelumnya.
Pemuda itu melihat arloji berwarna emas disaku nya.
"Seharusnya sebentar lagi dia datang" ucapnya bergumam.
Tak berapa lama, awan menjadi gelap dan kabut hitam pun mulai mengerubungi si pria paruh baya yang terbujur kaku. Orang-orang disekitar seakan tidak melihat apa yang terjadi atau tidak peduli tetap memandang pria itu dengan tatapan iba. Muncullah suatu makhluk berjubah dengan sabit ditangannya.
Makhluk itulah yang sering disebut sebagai Malaikat Maut.
Wajah yang sangat putih dan pucat dengan mata yang sepenuhnya hitam legam, tak ada apapun disana bahkan warna putih yang biasa ada pada mata pun tidak ada, seperti didalam lubang hitam tak berujung. Jika kalian membayangkan Malaikat Maut itu tampan, kalian salah besar. Ini bukanlah drama Korea dengan aktor tampan yang memainkan peran Malaikat Maut, bukan! Berhentilah membayangkannya seperti itu.
Orang-orang tidak menyadari makhluk itu dan tetap pada aktifitas masing-masing. Sampai makhluk itu mengarahkan sabitnya kearah tubuh sang pria dan memotongnya, tak ada yang mengetahui ataupun melihat makhluk itu memotongnya. Tubuh itu tidak terpotong, namun mengeluarkan asap putih yang membentuk siluet pria jangkung. Dituntunnya siluet itu bersamanya hendak pergi dari sana. Makhluk itu berhenti dan menyadari keberadaan sang pemuda dan menghampirinya.
«Salam, Tuan Alantryas. Anda sedang bertugas? » suara makhluk itu sangat dalam dan menggema seperti dalam dimensi yang berbeda. Pemuda yang dipanggil Alantryas itu mengiyakan dengan berdeham.
"Yah, seperti yang kamu lihat" Alantryas turun dari batu besar menghampiri Makhluk itu. Dia menyodorkan sebuah kotak kepada si makhluk.
"Maaf sebelumnya, aku tahu kamu sangat sibuk tapi bisakah kamu antarkan ini ke seorang pemuda? Ini sangat mendadak tapi aku harus segera ke Langit untuk melapor. Tolong ya!"
Setelah kotak itu diterima, Alantryas langsung menghilang, pergi dari hadapan makhluk itu sambil meneriakkan "Aku mengandalkanmu!"
Setelah Alantryas pergi, makhluk itu pun pergi dari sana dengan membawa arwah pria paruh baya ke Ruang Kematian.
Dalam perjalanan menuju Langit, Alantryas tersenyum dan membayangkan apa yang akan terjadi dengan pemuda yang dimaksud. Dia berharap sesuatu yang menarik akan terjadi disini, di dunia ini.
***
Di waktu yang sama, seorang anak sedang duduk di bangku diluar rumah tiba-tiba telinganya terasa berdengung. Ia memegangi telinganya dan mengerang tidak nyaman.
"Apa ada yang membicarakanku?"
Tanpa memperdulikannya lagi, anak itu melanjutkan aktivitasnya seperti sebelumnya. Tak ada yang spesial dari aktivitasnya. Dia hanya memandang Langit biru yang sekarang sedang cerah dan terik. Dirinya tidak memikirkan apapun. Dia sudah menyerah untuk memikirkan bagaimana dirinya bisa berakhir seperti ini dan disini.
Suara gemerisik terdengar dari hutan dan tak lama muncul seorang pria dari balik hutan yang mengelilingi rumah itu. Pria itu menghampiri si anak dengan tergopoh-gopoh. Wajah putih pucatnya menarik perhatian si anak. Tak ada manusia hidup dengan kulit sepucat itu, bahkan kulitnya nyaris kebiruan. Meski begitu, si anak tetap memerhatikan dengan tenang.
Setelah sampai, pria itu menyodorkan sebuah kotak hitam seukuran genggaman tangan kepadanya. Si anak tidak mengambil kotak itu dan tetap menatap si pria dengan kebingungan dan meningkatkan kewaspadaan kalau-kalau dia adalah seorang teroris.
"Seseorang menitipkannya kepadaku untuk diberikan kepadamu"
Suaranya sangat buruk dan tidak nyaman didengar oleh seorang pun, termasuk anak itu sendiri. Dia sedikit mengerutkan kening. Karena tidak kunjung diambil dan mungkin pegal memegangnya, pria itu menaruh kotaknya dipangkuan si anak dan segera meninggalkan tempat itu.
Anak itu menatap kepergian si pria. Mana mungkin dia teroris, ya kan? Ungkapnya dalam hati. Memangnya ada teroris disini? Kalau memang ada, untuk apa mengebom rumah ditengah hutan belantara begini? Tidak ada gunanya. Kecuali teroris itu sedang bosan.