Meninggalkan hutan besar dibelakang kereta kuda, terlihat kembali hamparan luas padang rumput namun tidak seluas sebelumnya. Di ujung jalan yang mereka lewati, terdapat sebuah desa kecil, tidak ada gerbang masuk ataupun tugu perbatasan seperti desa sebelumnya.
Tiba-tiba sang kusir berbicara dengan mereka diluar, “Maaf Nona, kita akan segera sampai di desa dan beristirahat sebentar.”
Lasse mengerti, hewan juga bisa kelelahan dan membutuhkan istirahat untuk kembali bekerja.
“Berapa lama?”
“Saya khawatir itu sampai besok, Nona. Hari sudah mulai gelap, akan berbahaya jika terus menlanjutkan perjalanan.”
Perkataan sang kusir benar akan berbahaya jika memaksakan perjalanan di malam hari, akhirnya Witty setuju. Saat akan mendekati desa, sihir yang ada sudah dihapuskan sejak memasuki hutan dan mereka memasuki desa dengan tenang.
Desa itu begitu kumuh dan tidak banyak orang yang ada, banyak pengemis berkeliaran, dan orang-orangnya terlihat kuyu, dekil, dan hidup. Ketika kereta kuda mereka memasuki desa, pengemis-pengemis yang ada dijalanan mengerubungi mereka dan meminta-minta, sang kusir tidak terlalu peduli dan tetap menjalankan kereta kudanya.
“Apa pengemis disini selalu begitu ketika ada yang datang ke desa ini?” Tanya Witty memandang keluar celah jendela.
“Iya, Nona, biasanya memang seperti itu.”
“Bagaimana dengan orang-orang di desa?”
“Mereka biasanya juga tidak memerdulikannya.” Kusir itu menghela nafas dan melanjutkan, “Bagaimana mereka peduli kepada para pengemis itu sedangkan mereka juga miskin? Desa ini sangat jarang di datangi pelancong dan mereka terancam bangkrut. Bahkan terkahir saya kesini pengemis tidak sebanyak itu, semakin hari semakin banyak saja. Desa ini sangat miskin, tidak banyak kepala keluarga disini.”
Mereka akhirnya tiba di sebuah penginapan yang mungkin lebih nyaman di tinggali dari semua tempat di desa itu, karena sang kusir sering melewati desa ini dan beberapa kali tinggal. Kuda dibawa kusir ke belakang untuk diberi makan, dan Lasse serta Witty memasuki penginapan itu.
Penginapan itu kecil namun cukup bersih, beberapa meja dan kursi ada di lobi, tidak ada seorangpun di dalamnya yang membuat mereka bingung. Bagaimana mereka memesan kamar, resepsionisnya saja tidak ada.
Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya seseorang keluar dari belakang dan terlihat terkejut, “Astaga, ada pelanggan! Tolong tunggu sebentar ya!” orang itu kembali ke belakang dan berteriak memanggil dengan nada yang nyaring, “Kakak! Kakak!”
Tidak berselang lama, datang orang tadi bersama dengan seorang wanita berusia 30-an, cantik hanya saja tidak ada senyuman di wajahnya, tidak ada ekspresi. Dia sedikit membungkuk dan berkata, “Berapa kamar?”
Wanita itu bertanya kepada Witty namun entah kenapa Lasse yang gugup, nada bicara wanita itu datar terkesan dingin menurutnya, seharusnya untuk menyambut pelanggan tidak seperti itu. Witty tidak mempermaslahkan sikapnya dan menjawab dengan lembut, “Dua kamar, Nyonya”