Tidak ada apapun yang menghalangi perjalanan mereka kembali ke penginapan, mereka kembali ke penginapan dengan selamat. Meskipun benar bahwa saar perjalanan terdapat kabut, namun kabut itu tidaklah beracun dan tidak terlalu tebal, entah itu karena belum lama malam jadi kabut itu tidak terlalu tebal.
Keesokan paginya, saat mereka turun ke lantai bawah penginapan, terdengar beberapa orang yang ribut di luar penginapan. tanpa menunggu lama lagi, Lasse dan Wiity segera berjalan menuju tempat keributan tersebut.
Banyak orang berkerumun sehingga mereka tidak bisa melihat apa yang terjadi, dan diantara kerumunan itu ada pria ‘taruhan’ yang kemarin malam ada di Rumah Makan bersama mereka, Pria ‘taruhan’ itu mengenalinya, “Oh Nona! Kau selamat ya!” ucapannya terdengar kasar namun yang mendengarnya tahu bahwa terselip nada senang di ucapannya.
Witty tersenyum dan menanyakan apa yang sedang terjadi. Pria itu menjawab dengan muram, “Ada dua mayat baru hari ini, sepertinya mereka adalah pengembara yang datang tadi malam dan tidak tahu tentang monster yang mendiami desa kami. Sungguh sial nasib kedua orang itu.”
Mendengar itu, Lasse mengikuti Witty yang menyusup masuk ke kerumunan untuk melihat mayat kedua pengembara itu.
Kedua mayat itu laki-laki, tidak di ketahui berumur berapa karena kulitnya yang keriput dan menghitam. Seperti yang dikatakan pria-pria di Rumah Makan, daging dan darah mereka tidak ada, hanya menyisakan kulit membungkus tulang, mata dan mulut mereka terbuka lebar. Ada pedang di pinggang kedua mayat itu, sepertinya mereka adalah pendekar pedang.
Witty berjongkok di samping kedua mayat itu dan memeriksanya dengan teliti, Lasse memerhatikan disampingnya, nampak serius. Kedua mayat itu nampak bersih tidak terluka oleh apapun, dan tidak ada keanehan yang terlihat kecuali tubuh fisik mereka yang menyusut.
Beralih ke mayat satunya, hal yang sama berlaku, tidak ada keanehan apapun. Sebernarnya apa yang terjadi dengan orang-orang ini?
Lasse membantu meneliti mayat satunya dengan baik, dia membuka sepatu, menggulung celana panjang mereka dan lengan pakaian, membuka kancing pakaian, dan hal lainnya. Orang-orang yang melihatnya hanya bisa mngernyit jijik, namun tidak berani menegur. Pantas saja mereka menyebut mayat ini membusuk semalam, karena kulit ini begitu hitang namun tidak berbau busuk, mungkin terlihat seperti penuaan kulit.
Jika dilihat memang tidak ada apapun, namun setelah cukup lama Lasse meliat satu titik pencerahan. Di telapak kaki mereka terdapat dua titik kecil seperti gigitan ular, jika tidak dipehatikan dengan teliti, mereka tidak akan pernah di temukan, karena kulit mereka menghitam jadi gigitan itu nyaris tak kentara.
“Kakak, lihatlah ini,” Lasse menunjuk ke tempat gigitan itu. Witty pun melihatnya dengan terheran-heran, Lasse juga merasa heran, bagaimana gigitan itu ada di telapak kaki mereka? Sepatu yang merka cukup tebal, meskipun berhasil menggigit pasti akan meninggalkan lubang bekas gigitan di sepatunya, namun sepatu itu bersih.
Cukup lama mereka mengamati, namun tidak menemukan solusi yang tepat. Witty meminta warga untuk memakamkan kedua mayat itu dengan layak, setelahnya mereka pergi dari sana.
“Nona, kereta sudah siap.” Setelah merka masuk ternyata sudah ada kusir kuda mereka yang sedang menunggu. “Apakah Nona dan Tuan Muda ingin memakan sesuatu dulu sebelum berangkat?”
Mereka bertiga berjalan menuju Rumah Makan kemarin malam untuk sarapan. Witty bertanya kepada kusir tentang monster yang dimaksud para warga desa. “Tentu Nona, memang ada yang seperti itu. Meskipun saya ragu akan kebenarannya, namun saya tidak berani mencoba keluar malam. beberapa kali saya singgah, baru kali ini saya menyaksikan langsung mayat itu.” Ucap sang kusir dengan bergidik takut.
Dulu, didesa ini tidak ada makhluk yang membunuh manusia seperti itu, ini terjadi beberapa bulan yang lalu saat itu baru pergantian Kepala Desa dan warga masih mampu. Pernah saat itu mereka meminta seorang pengembara untuk membasmi makhluk itu, tentu saja ada imbalannya dan pengembara itu pun menyetujui. Namun keesokan harinya, dia ditemukan tidak bernyawa di tengah jalan dengan keadaan yang tidak jauh beda dengan mayat lainnya. Mulai saat itu warga takut untuk keluar malam, dan mereka semakin miskin sehingga tidak memanggil orang lain lagi.
“Itulah yang saya dengar dari perbincangan warga sekitar. Saya tidak dapat membantu karena bukan ahli sihir atau pendekar dan hanya bisa mendoakan desa ini agar segera bebas dari makhluk itu.”
Mereka sampai di Rumah Makan, keadaan tidak berbeda jauh dengan kemari, masih sepi, bahkan sekarang tidak ada orang disana. Mereka bertiga duduk di salah satu meja dan satu pelayan menghampiri mereka.