Rukyat Maan

ersulawati
Chapter #1

Keping 1

---

Buitenzorg, tahun 1918.

"Mitch, kom hier." 

Mata hijau Mitch berkilap, dia mendekati sang mama yang sedang merapikan topi bonnetnya. "Ga niet langs de kant van de weg staan (jangan berdiri di pinggir jalan)," tegurnya seraya merapikan simpul pita di bawah dagunya.

"Ja, Mama."

Wanita berambut pirang itu memutar tubuhnya, memperhatikan pantulannya pada cermin besar yang terpajang di sudut toko cokelat itu.

"Ini cokelatnya, Mevrouw." Seorang perempuan berkulit pucat, menyodorkan bungkusan kertas berwarna putih.

"Oh, Ja." Amy memeriksa bungkusan oleh-oleh untuk kawannya, esok mereka akan berlayar kembali ke Netherlands. "Is deze chocolade 40 dagen veilig? (apakah cokelat ini aman selama 40 hari penyimpanan?)" Tanyanya memastikan lagi. Dia mengeluarkan beberapa Gulden dari tasnya.

Wanita Netherlands berpakaian kebaya itu menganggukkan kepalanya. "Zolang hij luchtdicht is en niet wordt blootgesteld aan water, is deze chocolade 6 maanden houdbaar (selama kedap udara dan tidak terkena air, cokelat ini akan awet selama 6 bulan)," terangnya.

Mitch kembali mengalihkan pandangannya ke arah luar pintu kaca besar itu. Dia tertarik dengan truk-truk Tentara Kerajaan Netherlands yang berjejer di sekitar pertokoan. Di Rotterdam, pemandangan para Tentara adalah hal yang langka. Ketika papanya bertugas ke Nusantara, hampir setiap hari Mitch bisa melihat banyak Tentara lengkap dengan senjatanya.

Sayangnya, hari itu Buitenzorg dibubuhi hujan. Kaca-kaca di pintu-pintu kaca tertutupi oleh embun dari hawa yang bersuhu dingin. Satu-satunya cara, Mitch harus keluar. Dia ingin tahu apa yang dilakukan para Tentara-tentara Kerajaan Netherlands di depan toko itu.

Mitch melirik Mamanya sekali lagi, Amy tampak asik berbicara panjang lebar. Samar-samar terdengar pembahasana mereka tidak hanya pada masalah cokelat saja. Melihat kesempatan, Mitch pun mengendap-endap, meraih ganggang pintu perak di depannya. Mata hijaunya masih mengawasi sang Mama. Beberapa detik kemudian, Mitch segera membuka pintu seluas tubuhnya dan melangkah mundur untuk kabur keluar. Sebelum menutup pintu, Mitch tetap mengawasi Mamanya.

Sebagai anak 7 tahun, rasa ingin tahunya terhadap Tentara-tentara Kerajaan Netherlands cukup besar. Apalagi ayahnya seorang Perwira Koninklijke Marine, salah satu Pasukan Angkatan Laut yang paling disukai yang mulia, Ratu Wilhelmina. Impian Mitch ketika dia besar, adalah menjadi Pengabdi Ratu seperti Loigan Van Prinsen, Ayahnya.

Mitch memutar tubuhnya. Matanya memegar kagum, merayapi 4 truk raksasa itu. Nomor unit dan bendera tiga warna tertera di bak bajanya, menunjukkan identitas Tentara Koninklijke Landmacht.

Hujan kian deras, langit siang hari itu terlampau legam terbalut mendung. Mitch tidak bisa melihat jelas. Dia berdiri di ujung paving pertokoan, tidak perduli tetesan air hujan mengotori celana dan sepatu kulitnya. Mitch masih ingin mengagumi kendaraan baja pengangkut Tentara-tentara itu.

"Apa mereka sudah menangkapnya?"

"Tidak. Aku harap, dia melarikan diri."

Mitch menoleh ke arah punggungnya. Ternyata, orang-orang pribumi sama penasaran seperti dirinya. Tetapi mereka berbicara dengan raut khawatir.

Mitch sudah hapal, di depan pertokoan ini adalah pasar. Mamanya sering kemari dan belanja sayur-mayur dari orang Pribumi. Mitch tidak mengerti ... apa yang terjadi? Mungkinkah Tentara-tentara Kerajaan Netherlands sedang berbelanja sayur-sayuran?

Samar-samar terlihat pergerakan dari balik derasnya hujan. Beberapa orang Tentara bergerak membentuk formasi dari dalam pasar. Senjata laras panjang itu terkokang dan bersiaga. Tubuh-tubuh tinggi mereka tegap, seakan tidak tergoyahkan oleh pukulan air hujan yang menerpa helm baja dan membasahi seragam mereka.

"Semuanya! Maju dengan tangan di belakang kepala!"

Suara perintah itu meninggi dibalik deru hujan. Tidak lama beberapa orang pribumi berbaris dari arah dalam pasar. Mereka berjalan jongkok dengan tangan terangkat di belakang kepala. Beberapa Tentara mengikuti sambil menodongkan ujung senapan tepat di kepala mereka.

"Wees niet traag! Cepat!" Teriak salah satu tentara, dia pun menendang salah satu Pribumi yang berada di barisan belakang karena berjalan terlalu lamban.

Mitch menelan ludahnya. Ini adalah pertama kalinya, dia melihat memandangan ini. Baginya Tentara Kerajaan Netherlands adalah sosok yang gagah perkasa. Wajah-wajah dingin itu, seakan tidak gentar dengan apa pun. Jantung Mitch berdebar-debar penuh semangat, menyaksikan kejadian ini.

"Padahal mereka hanya mengambil hak mereka! Dasar Belanda!"

Mitch menoleh lagi ke kerumunan di belakangnya. Ternyata lebih banyak orang Pribumi yang berkumpul, sampai-sampai dia tidak bisa melihat pintu toko cokelat tadi.

"Pajak terlalu tinggi untuk kita, tetapi pemerintah Belanda tidak memperbolehkan kita menjual hasil bumi sendiri," eluhan itu terdengar lagi. Kali ini, suara itu berasal perempuan mengenakan tutup kepala, dia menurunkan seorang anak perempuan dari gendongannya.

Lihat selengkapnya