Rukyat Maan

ersulawati
Chapter #2

Keping 2

---

Surakarta, Kampung Bumi Sukowati, tahun 1923.

Derap ladam itu terdengar keras, seakan berlomba-lomba dengan waktu. Ujung ikat kepala dan jarik kain Sembongnya berkibar-kibar, mengiringi gerakan sang penunggang bermata cemerlang itu. Susuran tali kekangnya terbelit erat di kedua telapak tangannya, dia memacu kuda jawa cokelat itu berlari sekencang-kencangnya ke arah matahari tenggelam. Beberapa petani pulang berladang melongok heran, tuan itu tampak terburu-buru.

"Tuan Tumenggung datang! Tuan Tumenggung datang!" 

Seorang perempuan setengah baya terpogoh-pogoh menyambut kedatangan Tumenggung. Aria menarik kekangnya dan membunyikan kode agar kudanya melamban dan segera menuju pendopo di pelataran selatan. 

"Nyuwun pangapunten, Tuan Tumenggung Aria," ucap Gamel. Sang pengurus kuda itu menahan segera tali kudanya.

Tumenggung Aria Abimana memutar arah wajahnya. Suara tangisan terdengar jelas di dalam Pendopo, sedang anak perempuannya menunduk, dia dimarahi oleh ibundanya.

"Assalamualaikum, Dek Ayu," ucap Aria seraya turun dari kudanya.

"Kang Mas, Waalaikumussalam." Sang Istri langsung mengatur gestur tubuhnya. Dia mendekat dan meraih tangan suaminya. Dia tahu suaminya buru-buru pulang, karena mendapatkan berita kecelakaan.

"Benarkah Bulan kembali berulah lagi?"

Dewi Delima mengangguk, gurat wajah kesalnya tidak elok menutupi kecantikannya. Kerudung merahnya sampai terjuntai dari ujung pundaknya.

"Sabar, Dek Ayu." Aria mengusap punggung istrinya dengan lembut dan segera mendekati putrinya yang menunduk. Dia pun melirik ke dalam pendopo, Sutan masih menangis keras, anak panah itu masih menancap di lengannya.

Delima menghela napas panjang-panjang. "Mereka berdua ini sedang latihan Jemparingan1. Entah mengapa putrimu berulah, dia tiba-tiba saja membidik Raden Sutan."

Aria merendahkan tubuhnya, diusapnya kepala rambut Bulan yang acak-acakan. "Bulan, Ayahanda meminta guru mengajarimu memanah dan berkuda, bukan untuk saling mengadu ilmu. Kamu tidak boleh menggunakan mata panah itu secara sembarangan." Ia menuturkan kalimatnya dengan suara tegas.

Gadis berumur 10 tahun itu celingukan saja. Dia tidak berani menatap wajah ayahnya. "Maaf, Ayahanda."

"Kalian ini masih kecil bermainlah sewajarnya," nasehat Aria. "Lihatlah, Ibumu sampai berwajah kusut seperti itu."

"Maaf." Bulan masih menunduk, seraya memainkan buku-buku jarinya. Dia merasa bersalah.

Aria melirik istrinya. "Dek Ayu, bawa Bulan masuk ke kamarnya. Hukumannya ... Bulan ndak boleh keluar kamar selama 7 hari."

Bulan lemas. Tetapi dia tidak berani melayangkan protes, dia harus menerima hukumannya. Padahal ada alasannya … mengapa dia memanah Raden Sutan.

"Sekarang ayah harus memeriksa memanggil Mantri dan keadaan Sutan. kedua orang tuanya pasti marah besar."

Bulan bergeming dan pun menurut saja, ketika sang ibu menarik tangannya dengan sedikit kasar.

"Cah Ayu ... Cah Ayu ... Bulan Purnama." Delima bergumam lagi. Dia masih menarik tangan putrinya itu menyusuri lorong Pesanggrahan Lor Agung menuju kamarnya.

"Bunda, Bulan melihat Dedemitbesar merangkul di bahu Raden Sutan."

Delima menghentikan langkahnya, suara polos itu mengungkapkan alasannya. Ujung indra pengelihatannya hampir bertemu. "Apa pun alasanmu, Ibunda harus menuruti Ayahmu, Nduk. Kamu harus menerima hukumanmu."

Beberapa pelayan mengikuti mereka sampai di depan kamar. Mbok Sarni membuka pintu kamar dan segera membakar dupa kayu Gaharu. Dia berputar sekeliling kamar, merapikan kasur dan tirai. Beberapa pelayan datang meletakkan beberapa panganan dan buah-buahan.

"Nyuwun Pangapunten, kamar Ndoro Putri sudah siap," ucap mbok sambil mengulurkan jempolnya dengan gestur membungkuk.

"Masuklah, Cah Ayu. Selama tujuh hari, kamu harus di kamar ini. Mbok Sarni akan menemanimu, kamu boleh minta sesuatu kepadanya, kecuali keluar dari kamar ini." Delima mengusap rambut Bulan.

"Inggih, Bunda."

"Jangan lupa sholat lima waktu," pesan Delima sebelum menutup pintu jati berukir itu.

Setelah suara pintu kamarnya tertutup, Bulan duduk lemas di ujung ranjang. Dia langsung saja menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang empuknya. "Bunda, kirangan, mboten ngertos." Bulan mengeluh, karena Ibundanya tetap saja tidak mau mengerti alasannya.

Bulan mengawang-awang memandangi kelambu putih di atasnya, Kelambu putih itu tampak bergerak cepat. Dia mengangkat tangannya, meluruskan fokus matanya ke ujung jari tengahnya. Bulan merubah posisi jarinya dengan posisi Ngithing3. Ibu jari menempel pada jari tengahnya, sedang jari-jari yang lain menekuk. Jari-jari itu membentuk celah seperti mata. Bulan mengintip dengan satu matanya. 

Pendar bola-bola merah muda mulai muncul dari celah jarinya. Seluruh kamar tidurnya pun dilingkupi warna merah muda.

Sejak lahir, Bulan dianugerahi mata batin keturunan leluhurnya. Seluruh indra yang dimilikinya lebih peka dan tajam, karena itulah Bulan mampu melihat penampakan mahluk halus. Seperti yang ada di kamar tidurnya … Bulan bisa melihat perempuan cantik berkebaya. 

"Ada apa, anak kecil?"

Bulan bangkit dari kasurnya, ekspresinya merengut. "Ayahanda menghukumku, padahal aku ndak sengaja menarik anak panah itu." Eluhnya sambil memeluk lututnya. "Ini semua karena Dedemit itulah hendak masuk ke dalam raga Sutan."

Perempuan bernama Ratih itu pun duduk di lantai, lalu menempelkan pipinya di atas kasur. Dia memandangi Bulan. "Apakah anak kecil bersedih hati?"

"Iya, tentu saja aku sedih," pungkas Bulan dengan nada mengalun.

Ratih malah tertawa melihat wajah Bulan yang lucu. Suara tawanya mirip musang mengikik di malam hari.

"Apa yang lucu?" Bulan menepuk pipi Ratih dengan kesal

"Aduh! Sakit! Sakit!" jerit Ratih kesakitan. "Salahku apa?"

"Ih, kemayu!"

Lihat selengkapnya