---
Rotterdam, 1933.
Arunika keemasan menyongsong sang Mentari dari sebelah timur. Pendar warna megah itu terpantul dramatis di setiap kaca bangun-bangunan batu yang menjulang. Rotterdam berada di tepi laut Utara di ujung sungai Rhine dan menjadi salah satu pelabuhan tersibuk. Suara Burung Camar bersahutan mendominasi awal pertama pagi memasuki musim dingin.
Mitch menepis abu rokok di jarinya, dia menaikkan ujung mantel bulu dombanya sambil mengitari sisi Timur Gereja Sint-Laurenskerk. Mata hijaunya menilik ke atas menara gereja melihat penanda waktu yang tertera di sana. Dia menarik rendah ujung topi M1931-nya dan merapatkan kerah mantelnya. Lorong-lorong yang dilaluinya mulai sempit. Sepatu boots miliknya terdengar renyah ketika menginjak lapisan jalanan yang tertutupi es tipis, sisa semalam melewati suhu terdingin. Meskipun demikian, teras-teras Koffiehuis di sisi-sisi lorong itu, sudah dipenuhi oleh orang-orang yang memulai aktivitas pagi dengan sajian secangkir kopi dan roti hangat.
Mitch menjatuhkan puntung rokoknya, dan menggerusnya dengan sepatu kulitnya. Lamat-lamat rasa dingin menyeruak ke sela-sela telapak kedua tangannya, ia menggosok-gosokan telapak tangannya sebelum memasukkannya ke dalam kantong mantelnya. Mata hijaunya siaga ketika seseorang memakai syal merah berhenti di depan, seakan menunggunya keluar dari lorong pertokoan itu.
"Goedemorgen, Meneer Mitch. Het is een koude dag is het niet?" Sapa Ben, rekan kerjanya. Dia mengigil seraya menepuk punggung Mitch.
Mitch membalasnya dengan senyum, uap halus keluar halus dari mulut dan lubang hidung mereka. Ya, pagi ini memang sangat dingin. Rasanya musim panas berlalu begitu cepat.
"Ja, We hebben een kop koffie nodig (ya, kita memerlukan secangkir kopi)." Mitch tertawa.
"Ik kan me de geur van Malabar koffie voorstellen … Nusantara (aku bisa membayangkan aroma kopi Malabar … Nusantara)," ucap Ben. Dia pun sama, baru saja melewati Koffiehuis dengan wangi kopi yang semerbak.
Mitch mengingat sedikit tentang negara Tropis itu, Mitch sempat tinggal beberapa tahun di Nusantara dengan orang tuanya. Setelah kejadian itu menimpanya, Loigan tidak lagi membawa istri dan anaknya ke Nusantara. Saat beranjak dewasa pun, tidak banyak yang dia ingat. Tetapi kadang-kadang orang tuanya masih suka berbicara bahasa Nusantara.
"Als de kans bestaat, gaan we naar Nusantara (Kalau ada kesempatan kita akan ke Nusantara)," ucap Ben. Raut wajahnya cerah membayangkan, matahari hangat sepanjang hari, kopi-kopi bermutu tinggi yang harum, buah-buahan segar dan wanita Nusantara tentunya. "Het Bataaf Leger zal officieren rekruteren om in verschillende regio's van Zuidoost-Azië te dienen (Angkatan Darat Bataaf akan merekrut perwira untuk bertugas di beberapa wilayah Asia tenggara)."
"Hmm." Mitch hanya menaikkan bahunya. Dia tidak terlalu banyak berharap untuk bertugas keluar Netherlands. Bataaf Leger adalah Tentara di bawah pengawasan pemerintahan Kerajaan Perancis dan Netherlands. Setelah Raja Willem melarikan ke Inggris ... terlalu banyak perubahan drastis di Netherlands, Kerajaan Netherlands tidak 100 persen memegang kekuasan atas negara, militer dan politik. Pemerintah Perancis langsung mendominasi dam gencar mengambil alih negara-negara yang dikuasai Netherlands. Artinya Netherlands terlempar statusnya dari barisan negara adi kuasa dalam menguasai dunia.
Sejujurnya Mitch lebih mencintai negaranya sendiri. Ada rasa bangga, negara kecil Netherlands bisa menduduki beberapa wilayah di dunia dan menggunakannya untuk kepentingan membangun negara.
"Waar denk je aan? (apa yang kamu pikirkan?)"
Sepatu kulit mereka menembus beberapa genangan tipis dari es yang mencair. Mitch menaikkan mata hijaunya, gedung Angkatan Darat sudah sampai di hadapannya. Bendera tiga warna berkibar tinggi, terdapat gambar sosok Patriot di sudutnya. Sebagai tanda bahwa pemerintahan Kerajaan Bataaf sedang berkuasa. Begitulah Politik dan militer, siapa yang kuat merekalah yang menang. Di atas pemenang, akan ada lagi pemenang selanjutnya. Jalan satu-satunya, mereka harus menuruti saja permainan negara ini.