---
"Ndoro Bulan, Gandewa telah selesai diperbaiki."
Bulan yang baru saja mengeluarkan sepeda onthelnya, segera menegakkan jagang sepedanya. Dia bergegas mendekati pelatih Jemparingan itu, sambil menyingsingkan lengan kemejanya.
"Terima kasih, Paman Sarwi."
"Ndoro, mau ikut turnamen Jemparingan lagi?"
Bulan memeriksa busur yang terbuat dari bambu itu, dia menarik kendheng atau tali busurnya kencang-kencang. Ketika dia merasa nyaman menariknya, maka busur itu sudah dirasa bagus. "Iya." Bulan memicingkan satu matanya, untuk mengukur lurus busurnya. "Sepertinya ini sudah bagus, Paman," ucap Bulan sambil memberikan busurnya kembali Paman Sarwi.
Paman Sarwi bingung. "Kenapa Ndoro kembalikan?"
"Titip dulu, Paman. Aku mulang dhisik ... harus pergi mengajar," ucap Bulan kembali menuju sepedanya. Dia memeriksa sekali lagi kotak yang diikatnya di belakang. "Sampai jumpa di area latihan Jemparingan akhir minggu."
"Inggih, Diajeng, ati-ati ing dalan."
Bulan mengangguk. Dia segera menaiki sepedanya dan melalui pelataran Pesanggrahan Lor Agung. Bulan melambaikan tangannya tanda pamit kepada beberapa pelayan yang sibuk menyapu daun-daun lamtoro yang rontok tertiup angin.
Selepas bersekolah guru di Van Deventer Vereniging, Surakarta. Bulan memutuskan untuk menjadi guru lepas di pinggiran kampungnya, Bumi Sukowati. Beruntung orang tuanya mendukung, padahal banyak pria yang berniat melamar Bulan. Bahkan ada yang sudah datang ke rumahnya ... tetapi Bulan belum tertarik. Padahal konon, setan akan meniupkan rayuannya agar sang gadis enggan menikah.
Ketika Bulan melewati jembatan, sepedanya sedikit goyah karena berpapasan dengan ratusan bebek yang digembalakan seorang kakek. Tetapi Bulan tidak bisa menunda, dia akan terlambat mengajar.
"Mbah, Nderek langkung," ucap Bulan nekat mengayuh cepat pedal sepedanya berlomba dengan bebek-bebek itu.
---
"Ah, Bulan sudah datang."
Teresia berdiri dari kursinya, ketika melihat sepeda Bulan merapat ke halaman sekolah. Beberapa anak-anak ikut berdiri menilliknya dari rumah panggung yang terbuat dari bambu itu.
"Maaf, aku terlambat," ucap Bulan seraya menurunkan jagang sepedanya.
"Tidak terlambat, hanya saja anak-anak tidak sabar karena kamu menjanjikan buku cerita untuk mereka."
Bulan tersenyum menatap Teresia, perempuan Belanda itu tampak sangat cantik dengan kebayanya. "Aku membawanya. tadi buru-buru mengambil paket dari pos stasiun." Dia menarik simpul tali pengikatnya. Itu adalah buku-buku cerita berbahasa Belanda yang dipesannya dari kawan di kota Jayakarta.
"Sedikit sulit mendapatkan buku-buku ini." Teresia mengeluarkan beberapa buku-buku dari dalam kotaknya. Wilayah Kasunanan Matarom memang membatasi penyebaran buku-buku dalam bahasa Belanda kecuali untuk pengetahuan. Meskipun begitu, buku anak-anak sudah didapatkan.
"Karena kita banyak teman akhirnya dipermudah," ucap Bulan senang.