***
"Tidak, Ratih. Aku tidak bisa menerimamu lagi."
Lagi-lagi, Ratih terisak dan mulai menangis ... kali ini suaranya lebih keras.
"Hei, berhentilah menangis dan pulanglah!"
Bulan gelagapan menutup telinganya. Suara tawa Dedemit ini terdengar mengerikan, apalagi suara tangisannya … bulu kuduk di seluruh tubuhnya sampai berdiri, apalagi indra di tubuhnya memang semakin sensitif. Bulan tidak bisa memungkiri, semakin dewasa, dia memahami banyak hal tentang Dedemit.
"Aku tidak mau pulang kembali ke rumah Ndoroku yang dulu! Aku tidak mau lagi diperintah untuk menyakiti anak kecil!" isak Ratih.
Bulan menghela udara dari pernapasannya. "Mengertilah, aku juga bisa lagi berteman dengan bangsa Dedemit."
"A— ada apa, Anak kecil? Tapi— aku— aku berjanji tidak akan mengacaukan apa pun." Ratih memaksa. Dia sudah betah tinggal dengan Bulan.
"Kamu pasti tahu, bangsa Dedemit memerlukan tumbal untuk makanan, mereka menelan jiwa-jiwa manusia di sekitarnya. Aku tidak mau … kamu akan melakukan itu kepada keluargaku. Kamu harus pulang dan makan di tempat majikanmu, Ratih." Bulan menarik ujung jendelanya.
"Anak kecil, aku mohon." Ratih masih berusaha, sebelum jendela itu benar-benar tertutup rapat.
Bulan menatap Ratih. Rupa Ratih tidak seperti dulu, lingkup sosoknya tampak mengerikan dengan warna merah muda. Bulan ingin sekali membacakan mantra dan membakarnya. Itulah membuatnya takut, padahal Ratih selalu membantunya.
"Pergilah, Ratih ... tempatmu bukan bersamaku." Bulan segera menutup jendela dan menguncinya. Dia juga merapatkan tirainya. Walaupun Bulan tahu itu percuma, karena Ratih bisa menembus dinding.
Senandung hujan terdengar, gerimis yang tadi turun berganti dengan derai air dari langit kelam. Titik-titik air itu memukul lebih keras, membasahi bumi. Sesekali patahan sinar menunjukkan pecutannya, suara menggelegar mengikuti di belakangnya. Dataran Kampung Bumi Sukowati basah terguyur.
Bulan melendehkan dirinya di ujung ranjang, suara damai dari hujan membuatnya kembali merenung. Rupanya menjadi dewasa ... tidaklah menyenangkan.
Sewaktu kecil, dia sangat bangga dengan kelebihannya. Baginya dahulu memiliki warisan mata batin terasa menyenangkan. Apalagi dia mampu melihat sisi dimensi lain yang tidak dapat dilihat oleh manusia biasa. Dia pun bisa melakukan banyak hal, menolong orang lain, menolong Dedemit dan juga mampu mengatasi Dedemit jahat yang akan mencelakai keluarganya. Namun sekarang ... Bulan takut dengan kemampuannya. Dia kehilangan hal-hal penting dalam pengelihatannya. Dengan warna merah muda yang menutupinya indra terpentingnya, Bulan merasa buta! Dia tidak lagi menikmati warna apa pun secara normal, semuanya terasa sangat menganggu.
"Jika diberikan pilihan … aku ingin mata batin ini ditutup saja," eluhnya. Bulan tidak ingin memiliki kemampuan seperti ini!
***
"Ndoro ...."
Bulan menurunkan buku di tangannya, suara cadal itu memecahkan konsentrasinya. Seorang anak mengintip, menyembunyikan separuh wajah polosnya di meja. Mata hitam dan bulat itu menatapnya dengan malu-malu. Bulan tersenyum, dia bisa melihat aura putih dari anak ini beterbangan di udara.
"Ada apa, Cah ayu?" tanya Bulan seraya menutup buku di tangannya.
Atun menyorongkan kertas, yang sebelumnya dia sembunyikan di punggungnya. Hari ini adalah pelajaran menggambar. Anak-anak kecil itu juga belajar mewarnai, karena alat pewarna yang dipesan Teresia dari Belanda sudah tiba. Anak-anak pun sangat gembira, ketika dikenalkan alat gambar yang berwarna-warni.
"Ndoro ... apakah lukisanku bagus?" tanya Atun sambil berbisik.
Bulan hening sesaat dan segera mengangkat kertas itu. Walaupun sekedar corat-coret, Bulan bisa melihat … Atun mengambar pemandangan di sekitar pondok tempat mereka belajar. Garis-garis yang dibuatnya juga rapi, untuk seorang anak yang baru belajar mengambar dan mewarnai. Yang menjadi masalah … Bulan tidak tahu warna apa saja yang Atun goreskan di kertas itu. Karena apa yang terlihat di pengelihatannya hanyalah warna merah muda, warna-warna di kertas itu bercampur menjadi warna lain.
"Ini— sangat bagus sekali," puji Bulan.
"Menurut, Ndoro. Warna apa yang bagus untuk langit?" tanya Atun lagi, kali ini dia mengulurkan alat pewarna di hadapan gurunya itu.
Bulan berdegup. Jelas sekali, dia akan akan tidak bisa memilih warna apa pun di dalam kotak itu. Bulan tahu … langit itu berwarna biru, dan berpadu dengan warna putih sebagai awannya. "Ah— kamu bisa menggunakan warna biru sebagai dasarnya, lalu goreskan lagi warna putih untuk awannya," ucap Bulan. Sebenarnya, dia ingin memberikan contoh, tetapi ragu-ragu untuk mengambil alat pewarna itu.
"Biru?" Atun mindai kotak pewarnanya. "… apakah ini?" Atun mengambil salah satu dan menunjukkannya kepada Bulan.