***
Sekali lagi, suling lokomotif berbunyi. Suara meraung itu menandakan bahwa stasiun sudah dekat. Lokomotif mereka dari pelabuhan Soerabaja itu membawa 10 perwira yang akan disebar di beberapa wilayah Kasunanan Matarom. Pemerintah Bataaf memang gencar mendekati kerajaan yang memiliki kekuatan di tanah Jawa itu.
Mitch menoleh ke arah jendela, mengamati pemandangan di luar lokomotif. Pembangunan di wilayah Tengah Jawa, sangat jauh berbeda dengan Jayakarta dan Soerabaja. Mitch takjub, dia tidak melihat banyak bangunan berdiri, lebih banyak hutan, kebun dan hamparan sawah-sawah yang subur. Hanya beberapa fasilitas yang jelas sekali, bangunan itu adalah milik orang-orang Netherlands.
"Is hier elektriciteit? (Apakah di sini sudah ada listrik?)" tanya Ben berbisik. Dia duduk di sebelah Mitch.
Mitch menggelengkan kepalanya. Listrik memang belum sepenuhnya menjadi fasilitas orang-orang pribumi biasa. Di Jayakarta dan Soerabaya pun lebih banyak orang Pribumi yang masih memanfaatkan api untuk penerangan.
"Oh God. Ik wou dat er elektriciteit was in het huis waar we wonen (Ya, Tuhan. Aku harap di rumah tinggal kita, sudah ada listrik.)"
Mitch tersenyum. Hampir 15 tahun, Mitch tidak melihat banyak perubahan yang berarti. Begitulah, Orang pribumi selalu ditempa dan diperlakukan layaknya ras terendah dan terbelakang. Padahal Mitch tahu, negara Asia Tenggara ini memiliki hasil bumi yang kaya daripada Netherlands. Apa boleh buat, dirinya pastilah membela negaranya sendiri. Walaupun saat ini mereka sendiri di bawah pengawasan Kerajaan Perancis.
Suara deru mesin Lokomotif terdengar, sisa bumbungan asap tebal terpecah mengikuti arah angin. Mitch mengalihkan pandangannya. Dia mengambil jam sakunya, jari-jarinya mengusap foto kedua orang tuanya yang terpasang di dalam jam sakunya. Besar harapannya agar orang tuanya baik-baik saja di sana, tanpa mengkhawatirkannya.
Lokomotif Netherlands itu terlihat mendekati wilayah dengan bangunan rumah-rumah yang terlihat mulai padat. Suling Lokomotif berbunyi untuk memberi peringatan. Sedikit goncangan, lokomotif itu dikendalikan untuk melambat. Beberapa tentara Perwira Bataaf tampak riuh bernada senang, tanda perjalanan panjang mereka akan segera usai.
Seorang pria berpangkat Kolonel terlihat dari balik gerbong depan, membuka pintu sekat kaca yang memisahkan mereka. Otomatis, kesepuluh perwira muda itu langsung sigap berdiri dari kursinya dan memberikan hormat.
"Selamat siang. Selamat datang di Negara Nusantara," ucap Kolonel itu logat Eropanya masih jelas di ujung lidahnya. "Saya Kolonel Shane," ulang Kolonel memperkenalkan dirinya. Tetapi, beberapa tentara tentu tidak paham dengan bahasa Nusantara, kecuali Mitch.
"Betekent dit dat we het hier over Nusantara moeten hebben? (Apakah artinya kita harus berbicara bahasa Nusantara di sini?)" Ben menyikut Mitch. Mitch mengelengkan kepalanya, tanda tidak tahu.
Kolonel Shane menerangkan, kalau di depan stasiun ada beberapa Jip yang akan membawa mereka ke daerah tujuan masing-masing. Rupanya Kolonel Shane berada di wilayah yang sama dengan Mitch. Mitch sedikit lebih tenang.
Gerakan Lokomotif perlahan-lahan mulai terasa lebih melambat dan berhenti di tengah-tengah peron di stasiun. Suasana di luar jendela terlihat sangat ramai. Sepertinya banyak orang Pribumi menunggu kedatangan lokomotif Netherlands tersebut. Wajah-wajah polos mereka tampak penasaran dengan apa yang dibawa moda darat itu dari stasiun kota Soerabaja.
"Hal seperti ini, akan kalian lihat setiap hari. Jangan khawatir, orang-orang pribumi ini tidak akan naik ke dalam gerbong yang kalian duduki ini. Mereka akan duduk di bagian gerbong barang bersama hewan ternak mereka," jelas Kolonel Shane, kemudian dia menerjemahkannya dalam bahasa Netherlands.
Salah seorang perwira mengangkat tangan. "Moeten we hun taal spreken? (Apakah kami harus berbicara bahasa mereka?)"
Kolonel Shane tertawa. "Je komt er later wel achter, en wees niet verbaasd als ze je Belanda of Londo noemen (Kalian akan mengerti sendiri nanti dan jangan terkejut, jika mereka memanggil kalian dengan panggilan Belanda atau Londo)."
"Belanda? Londo?" balas Perwira itu dengan logat yang lucu.
Mitch meluruskan tatapannya kembali ke arah jendela. Netra hijaunya mengamati orang-orang Pribumi yang memadati peron. Ya, Dia ingat, orang-orang Pribumi selalu memanggil orang-orang berkulit pucat seperti dirinya dengan sebutan Belanda. Entah apa artinya itu. Mungkin kata Belanda adalah kata-kata yang mudah diucapkan oleh lidah mereka.
***
Mitch merapikan topi baretnya dan menaikkan tas ransel di pundaknya. Dia bergegas mengikuti langkah Kolonel Shane menapaki anak tangga gerbong satu persatu. Dia memang terpisah dari kawan-kawannya.
"Meneer, mau beli kacang rebus?"