---
Mitch menarik selimutnya. Samar-samar suara berisik itu jelas merambati telinganya. Mitch menutup telinganya ... dia sungguh tidak rela tidurnya terganggu.
"Echt Luidruchtig!" Erangnya memprotes suara berisik itu. Dia pun bangkit dari berbaringnya, seraya mengusap puncak kening. Mata hijaunya mengawang-awang, meratapi seluruh sisi di kamar yang terbalut kegelapan. Suara tawa penuh kegirangan itu ramai masih terdengar, tampaknya ada beberapa keramaian yang berhasil menembus dinding.
Mitch berdengus. Dia ingat, setelah mandi air hangat dan makan, dia memutuskan untuk langsung tidur. Bahkan Mitch meminta pelayan rumahnya untuk tidak membangunkannya, walaupun hanya sekedar untuk mengingatkannya makan. Mitch hanya ingin tidur lebih lama.
Mitch berusaha mengambil kesadarannya, tirai yang tertutup rapat tampak tertembus cahaya. Dia tidak tahu jam berapa sekarang, yang pasti matahari sudah muncul. Rasa kantuknya seperti tersangkut di pelupuk matanya. Akhirnya Mitch meraba-raba sisi meja di samping ranjangnya, dan mencari saklar lampu. Ketika lampu menyala … mata hijaunya mengerjap, pijar cahaya lampu itu seperti menghunjam pengelihatannya.
Lamat-lamat, suara perempuan meninggi terdengar. Mitch menebak keributan itu berasal dari halaman rumah ini. Apakah ada pencuri? Mitch menghela napas. Akan sangat percuma, jika dirinya memaksa tidur kembali. Mau tidak mau, dia pun memaksa dirinya untuk memeriksa keadaan.
---
"Kalian sudah tidak boleh mengambil rambutan dan mangga untuk hari ini!" seru Tina mengacak pinggang. "Ayo, turun!"
"La Ngapo, Mbok Tin? Katanya kami bebas mengambil rambutan dan mangga di sini," ujar salah satu anak yang masih bercokol di atas dahan rambutan. Dua kawannya lagi berada di atas pohon mangga.
"Ini hadiah buat guru-guru kami, Mbok," sambung anak yang paling kecil, dia hanya bertugas memungguti beberapa buah-buahan yang di jatuhkan dari atas. Bakul bambunya sudah hampir penuh.
Tina memang bertugas, menjaga rumah milik pemerintah Belanda ini. Tahun-tahun sebelumnya, beberapa pohon berbuah sangat lebat, Tina pun tidak mungkin memakan semua buah-buahan ini. Beberapa pohon buahnya busuk karena ketika matang tidak ada yang memetik atau jatuh begitu saja dimakan tupai atau codet. Akhirnya, dia meminta anak-anak di kampung dalam untuk bebas mengambil buah-buah di dalam halaman itu sesukanya. Masalahnya … Tina tidak pernah tahu, kapan jadwal sang Meneer akan berkunjung karena kedatangan kapal tidak bisa diprediksi. Ketika Meneer Mitch datang, dia pun baru diberitahu beberapa jam sebelumnya. Tina pun lupa perihal anak-anak ini. Rata-rata Meneer yang tinggal di rumah ini adalah pria Belanda yang berumur 50 tahunan ke atas. Mereka mengijinkan saja anak-anak ini mengambil buah sesukanya. Tetapi Tina belum tahu, apakah Meneer Mitch mengijinkan mereka?
"Iya, sudah cepat kalian ambil seperlunya dan cepatlah turun. Kalau bisa kalian jangan berisik!"
"Memangnya kenapa, To Mbok?"
"Sudah! Cepat ambil buah rambutan itu dan kalian semua turun!" Tina sampai menaikkan sapunya lagi.
"Iya, iya, Ayo! Kita Turun daripada kita di-keplak sapu!" Salah satu anak menjatuhkan rambutan lagi.
"Kalian boleh ke sini kalau, Meneer Mitch mengijinkan."
"Meneer Mitch? Memangnya sudah ada yang tinggal di sini, Mbok? Bukan Meneer botak itu lagi?"
Baru akan menjawab, tiba-tiba pintu rumah terbuka. Tina meneguk air ludahnya, ketika melihat sosok Mitch berdiri di depan pintu, ekspresi wajahnya yang tidak ramah, rambut pirangnya acak-acakan, piyama yang dikenakannya pun tidak terkancing dengan rapi. Manik hijaunya begitu runcing, mengamati dirinya dan anak-anak yang berkumpul di bawah pohon.
"Me… Meneer Mitch … maaf …." Tina langsung mendekati pintu dengan punggung merendah. Dari roman wajah tuan berkulit pucat ini, terlihat dia tidak suka dengan kehadiran anak-anak pribumi.
"Ada Apa?" Mitch diam. logat sedikit aneh ketika dirinya berbicara bahasa Nusantara. "Ada Apa?" ulang Mitch seraya melipat tangannya. Kepalanya pusing.
Anak-anak pun langsung ketakutan, melihat wajah masam sang pria Belanda. Mereka saling mendorong kawannya yang bertubuh besar, untuk bersembunyi. Meskipun begitu, mereka tidak akan menyerahkan buah-buahan yang telah telah mereka panen dari atas pohon.
"Ma … maaf, Meneer. Saya memang meminta mereka untuk memanen buah di halaman ini, karena terlalu berlebihan. Sayang, kalau buah-buahan ini busuk dan terbuang," terang Tina menjelaskan dengan wajah takut.
Mitch diam. Dia masih memandangi anak-anak itu satu per satu. Mereka tampak lusuh dengan pakaian yang compang-camping. Mitch pun melemparkan pandangannya ke arah halamannya … tampak berantakan … banyak buah-buah merah dan daun-daun yang berguguran.
"Ambil sebanyak yang kalian mau! Jangan ribut! Kecilkan suara kalian!" Seru Mitch dengan kesal. Dia memutar tubuhnya dan langsung menutup pintu.
Tina meneguk air ludahnya. Dia bisa menangkap kalau tuan Belanda itu kesal, karena suara anak-anak ini memang terlalu ramai.
"Mbok … apakah kami akan kena marah?"
Tina menggelengkan kepalanya. "Sudah, tidak apa-apa. Meneer itu baru saja sampai kemarin lusa, jadi kali ini mbok yang tanggung jawab. Sekarang, Kalian semua harus bersihkan sampah-sampah di bawah pohon itu sebelum pulang."
"Buah rambutan dan mangga ini?"
Tina menatap wajah polos anak-anak itu. Mereka tidak nakal atau berbuat jahat, tetapi sifat mereka layaknya anak-anak yang senang bermain. Apalagi memanen buah-buahan yang memang mengiurkan. "Kalian bawa pulang semuanya. Jangan khawatir … kalian boleh kemari, tapi ijin dulu sama Mbok."
"Alhamdulillah, kita bisa bawa hadiah untuk Bu Guru!" pekik anak yang paling kecil.