Rumah

Sena Marselina
Chapter #1

1. Bangku Taman

Bulan dan bintang-bintang menghiasi langit, tampak bersinar terang tanpa sedikit pun awan menggantung. Keindahan langit yang tercetak tak seindah kediaman Kira yang jauh dari kata kedamaian. Malam yang seharusnya menjadi ketenangan tak berlaku sama kala Si Sulung alias kakak laki-laki Kira pulang ke rumah dalam keadaan mabuk.

Sama seperti malam-malam sebelumnya, pintu terbuka lebar dalam satu kali hentakan menimbulkan bunyi gebrakkan pintu bertemu tembok. Bang Galih berjalan masuk dengan sempoyongan, bau alkhohol dari mulutnya menguar di udara kala ia berbicara. Seluruh isi rumah sudah tidak heran lagi mendapati pemandangan seperti ini.

“Kira!!” panggil Bang Galih setengah berteriak.

Ini yang paling kira benci. Setiap kali abanya pulang dalam keadaan mabuk, sasaran pelampiasan amarahanya adalah Kira. Tidak tahu persis masalahnya apa, apapun masalahnya Kira solusinya. Solusi meredam amarahnya.

“Kira! Budek lo?” Sekali lagi Bang Galih memanggil, tapi tak kunjung digubris.

“Kenapa, sih, Bang?” Kira akhirnya keluar dari kamarnya dengan kesal.

“Lo masih ada uang, kan? Abang lagi butuh duit, nanti abang ganti.”

Kira menutup hidungnya guna menyumbat penciumannya, aroma minuman haram selalu membuat perutnya mual. Lagi dan lagi, Bang Galih memalaknya seolah Kira adalah bank berjalan miliknya.

“Buat apa lagi, sih, Bang?” Kira benar-benar lelah menghadapi kakaknya yang satu ini. “Abang nggak malu apa, setiap hari minta duit sama adeknya. Kira capek, Bang.”

“Berbakti sama abang sendiri, kek, Ra.”

“Kira kurang berbakti apa lagi, Bang? Kira cari duit padahal Kira harus sekolah. Setiap pagi Kira siapin sarapan buat kalian. Kira jagain Ibu, kalian enggak. Kurang ngalah apalagi, Bang?!”

Kira tak kuasa menahan sesak di dada. Sudah sering malam tanpa kesunyian menyelimutinya. Beban di pundaknya dia topang sendirian, mengurusi keluarganya yang berantakan seorang diri tanpa ada kerja sama sesama antar penghuni rumah.

Kira berlari mengabaikan Bang Galih yang terus meneriaki namanya. Keluar dari rumah untuk mencari udara segar guna meredam kekesalan yang bercokol di hatinya. Kali ini Kira tidak ingin peduli dengan abangnya itu, sudah beberapa kali Kira mengalah untuk keluarga, sudah sering kali Kira mengalah terhadap keadaan. Namun, semesta seolah tidak mengijinkan Kira untuk menghela napas sebentar.

Kakinya melangkah tanpa tujuan. Kira tidak tahu harus ke mana, yang jelas menjauh dari rumahnya. Rumah yang seharusnya jadi tempat paling nyaman di dunia, tapi tidak untuk Kira. Rumah yang seharusnya menjadi tempat paling dirindukan, tapi paling ingin dihindari bagi Kira. Tidak mengerti letak kesalahannya ada di mana, entah dosa besar apa yang sudah Kira lakukan di masa lalu hingga diberi cobaan begitu berat di masa kini.

Kira berjalan dengan cepat. Pipinya basah berlinang air mata, tidak kuasa lagi menahan sesak di dada.

“Kenapa harus aku?” Kira tidak mengerti kenapa dia yang harus bertanggung jawab di sini.

Di keluarganya, Kira punya figur seorang ayah, tapi Kira tidak pernah mendapat kasih sayang darinya. Ada sosok abangnya, tapi tidak pernah memberi perlindungan sebagaimana kakak terhadap adiknya. Ada kakak perempuannya, tapi tidak memberi cerminan baik sebagaimana kakak kepada adiknya. Ada ibu yang harus dia jaga. Ada adik yang harus dia jaga. Kira ... menanggung begitu banyak beban di pundak dan kepalanya.

Lihat selengkapnya