Rumah

Sena Marselina
Chapter #2

2. Semesta dan Perlakuannya

Ketika adzan subuh berkumandang, Kira sudah bangun untuk menunaikan ibadah. Setelah itu dia beralih ke dapur untuk beberes sambil memasak sarapan pagi. Semua pekerjaan rumah Kira yang selesaikan. Bukan lagi ibunya. Terhitung semenjak ibunya diagnosa stroke, Kira yang menggantikan peran ibu rumah tangga di rumahnya.

“Bu?”

Kira mendorong pintu kamar ibunya perlahan. Di tangannya membawa sebaskom air hangat beserta handuk. Kira berniat untuk memandikan ibunya, sebab belau tidak akan mampu melakukannya sendiri.

Sudah dua tahun lebih Kira melakukan itu. Dan setiap kali melakukannya, air matanya akan selalu menetes. Kira tak kuasa melihat kondisi ibunya. Rasanya ingin sekali menggantikan posisi ibu, tapi itu tidak akan pernah mungkin terjadi. Perkataan itu hanya menjadi negoisasi dengan tuhan yang tidak akan pernah disetujui. Maka dari itu Kira berusaha tetap kuat dan tegar menghadapi setiap ujian yang tuhan berikan kekepadanya.

“RR-Ra.”

“Ibu udah bangun ternyata.”

Tangan Ibu yang melipat menyentuh dagu berusaha bergerak, tapi dengan segera Kira datang membantu. Gadis itu menaruh baskom dan handuk yang ia bawa di atas meja.

Dengan sedikit gemetar Kira membantu ibunya untuk duduk. Bersandar pada tembok, kemudian mulai melucuti pakaian ibunya. Hanya menyisakan pakaian dalamnya saja.

“M-aa-f i-ibu sus-ah-in ka-mu, Ra.”

“Sama sekali engga, Bu.” Kira mulai mengelapi tubuh ibunya. “Hari ini kira ada ujian di sekolah, Bu. Kungkinan Kira bakal pulang sore, soalnya ujiannya dibagi jadi dua shift. Nah, kira kebagian yang kedua.”

Ibu mengangguk tanda mengerti. Dia tidak bisa berbicara terlalu banyak. Bibirnya yang membeku sulit hanya untuk mengucapkan satu kata yang lancar. Separuh tubuhnya juga membeku, bahkan penglihatannya pun tidak begitu baik.

Kira masih beruntung masih ada ibu. Wanita kuat yang melahirkannya itu adalah kekuatan terbesarnya untuk bertahan hidup. Wanita yang menjadi alasan mengapa Kira masih betah tinggal di rumah.

“Aku nggak pernah suka semesta, Bu.” Kira tiba-tiba berbicara tanpa diperintah, sambil mengelap tubuh ibunya.

“Semesta terlalu hitam buat aku tinggali.” Sesekali ia terisak.

“Semesta nggak pernah berpihak padaku, yang ia lakukan hanya melukaiku.”

Kira dan semesta itu bagaikan ikan yang tinggal di daratan. Nggak akan pernah bisa bertahan, tidak akan pernah bisa menyatu dan tidak akan pernah bersetuju.

Semesta seolah memperlakukan Kira seperti tempat pengujian, tidak sekalipun harinya tanpa ketenangan. Ohh, sebenci itu semesta padaku, Tuhan? tanya kira dalam hati.

Lihat selengkapnya