Rumah setiap orang berbeda-beda. Ada rumah yang selalu menjadi tujuan mereka pulang, ada teman yang menjadi rumah untuk mereka bercerita, ada pacar yang jadi rumah untuk mereka bahagia, ada keluarga yang jadi rumah ternyaman untuk mereka rindukan. Dan Kira, tidak termasuk ke dalam semua opsi itu.
Rumah. Satu-satunya rumah bagi Kira hanya sebuah nasehat dari ibunya, yang bahkan sekarang tidak pernah lagi kira dengar terlontar dari mulutnya. Bibirnya membeku, bahkan sebuah usapan lembut di kepalanya tidak pernah mendarat lagi.
“Apa melamun sudah menjadi hobi bagimu?”
Bagas yang menyadari Kira tengah melamun itu menegurnya.
Tidak pernah sekalipun Bagas melihat gadis di depannya ini tersenyum. Raut wajahnya selalu kusut. Sudah beberapa minggu ini Bagas perhatikan gadis itu, bukannya semakin baik justru semakin hari semakin murung. Bahkan beberapa kali terlihat menghela napas berat seolah beban yang menimpanya sangatlah berat.
Bel masuk berbunyi membuyarkan lamunan Kira, bahkan pertanyaan Bagas tadi pun tidak Kira dengar.
Gadis itu bangkit pamit duluan, padahal mereka satu kelas. Kira bisa saja ke sana bersamaan dengan Bagas, tapi tidak ingat kalau dia sedang bersama siapa. Terbiasa berangkat pulang sendirian, jadi begitulah Kira.
Sementara Bagas yang ditinggalkan masih terheran-heran dengan sikap gadis itu. Tidak lama kemudian dia bangkit dan meninggalkan uang di atas meja untuk bayaran makanannya.
“Bu, uangnya saya taro di meja, ya.”
Laki-laki itu pun berlari menyusul Kira yang sudah hilang di depan matanya.
“Ra, kok, kamu tinggalin aku, sit, tadi?”
“Ahh, aku lupa lagi sama kamu tadi, maaf.” Kira menyesal. Dia tidak bermaksud untuk meninggalkan Bagas, tapi pikirannya sedang melalang buana yang membuatnya tidak fokus dengan apa yang sedang dia kerjakan sekarang.
“Kamu mikirin apa?”
“Hah? Nggak, nggak mikirin apa-apa.”
“Tapi yang aku lihat nggak gitu.”
“Emang apa yang kamu lihat?”
Bagas menghentikan langkahnya, tapi Kira masih terus berjalan.
“Raga kamu ada di sini, tapi pikiranmu sedang ada di tempat lain, kan, Ra?”
Kontan Kira menghentikan langkahnya. Menengok ke arah samping yang rupanya tidak ada Bagas di sana. Dia menoleh ke belakang yang ternyata ada Bagas di sana.
“Masuk, Gas.” Kira berjalan masuk ke kelas terlebih dahulu tanpa menunggu atau menjawab perkataan Bagas.
***
“Sebarin semua brosur-nya! Jangan balik kalo belum habis. Kafe kita semakin sepi, jadi harus rajin promosi, paham?!”
Kira mengangguk. Dia mengambil satu box brosur untuk disebarkan ke orang-orang.
Setelah pulang sekolah Kira langsung menuju tempat dia bekerja part time. Pekerjaannya seringkali berganti-ganti, tidak semua jenis pekerjaan yang bisa dilakukan setengah hari. Satu-satunya yang bisa kira lakukan hanya menjadi seorang waitres atau beberes toko, bahkan menyebarkan brosur seperti sekarang.
Teriknya matahari tidak melunturkan semangat Kira membagikan lembar demi lembar kertas itu. Kira mengambil sebagian kertas dan mulai membagikannya.
Mencegah siapapun yang lewat, menyodorkan lembaran kertas itu kepadanya. Tidak banyak yang menerimanya, bahkan ada yang dengan sengaja membuangnya di depan Kira.