Setiap pagi, setiap aku menatap langit, pohon-pohon dan juga aktifitas bumi lainnya. Aku terkadang lupa sedang berpijak di mana?
Apa ini bumi yang sebenarnya?
Apa semesta memang seindah ini?
Lalu kenapa hidupku tidak pernah seindah semesta yang aku lihat?
Kira menulis kalimat demi kalimat di atas kertas kemudian dia sobek dan dibuang sembarangan. Sepulang sekolah Kira mendapati ibunya jatuh di ruang meja makan. Dito sudah mengingkari janjinya untuk menjaga ibu.
Bohong kalo Kira nggak marah. Dia benar-benar marah, dan sampai sekarang adiknya itu belum juga pulang ke rumah.
Abangnya yang entah di mana, kakak perempuannya yang tidak pernah pulang, dan bapaknya yang hanya mementingkan diri sendiri.
Buat apa keluarga itu diciptakan, Tuhan? Aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiranmu, ucap Kira membatin.
Kira harus mencari Dito. Anak itu sudah keterlaluan, kali ini kira tidak bisa membiarkannya lagi. Kalau bukan Kira, siapa lagi yang harus mengatur keluarganya ini?
Beberapa kali menelpon tidak pernah diangkat. Kesal, Kira kesal sampai ingin menangis rasanya.
“Bu, Kira cari Dito dulu ya. Ibu tidur aja jangan ke mana-mana dulu.”
Ibu mengangguk. Kemudian Kira bergegas keluar.
Kira tidak tahu harus mencari anak itu ke mana. Maka Kira berkeliling saja siapa tahu berpapasan saat Dito pulang.
Capek. Kira berjongkok sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya. Tidak peduli dengan orang-orang yang melihatnya dengan aneh. Isi kepala Kira sedang berkelana ke mana-mana.
Kira menggoyangkan tubuhnya ke depan dan ke belakang. Deru napasnya tidak teratur, dia hampir menangis lagi. Namun dengan sekuat hati berusaha menahannya untuk tidak menangis di tempat umum.
“Perasaan tadi cuacanya cerah, tapi kenapa sekarang mendung lagi ya, Ra.”
Kira berhenti menggoyangkan tubuhnya, lalu mendongak dan mendapati Bagas sudah duduk di sampingnya.
“Sejak kapan kamu di sini?”
“Tidak penting semenjak kapan aku di sini. Kamu yang lagi ngapain di sini?”
“Aku ....”
“Kenapa, Ra?” Bagas memotong dengan cepat.
“Tidak.”
“Jangan terlalu membentengi dirimu sendiri, Ra. Itu justru membuatmu semakin merasa kesepian.”
Kira tertekan. Merasa tertohok dengan perkataan Bagas barusan. Benar, Kira hanya terlalu menutup dirinya kepada dunia sehingga dia merasa kesepian. Seolah dia yang menderita sendirian.
“Kamu hanya perlu membuka diri, dengan begitu kamu tidak merasa sendirian.”