Ambon 2023.
Reruntuhan kenangan. Bolehkah aku menyebut tempat ini begitu? Tempat dimana hati pernah melabuhkan sauhnya. Tempat dimana hati pernah menemukan alasan bahagianya. Tempat yang pernah menjadi rumah bagi hatiku.
Tidak ada yang tersisa. Tidak ada lagi tembok yang berdiri kokoh menyangga atap. Tidak ada lagi jendela yang biasa kugunakan untuk mengintip ke dalam, atau pintu yang mendadak terbuka disusul sosoknya yang keluar menghampiri dengan wajah marah setelah kujahili. Semua hari-hari bahagia itu telah hilang. Kini semua itu hanya ada di kepalaku. Tersimpan rapat dalam memori terindah sekaligus memilukan dalam perjalanan hidupku.
Sudah 30 menit aku berdiri diam memandang hamparan luas tanah yang dipenuhi reruntuhan puing. Tidak ada yang menarik sejauh mata memandang. Hanya tumpukan besi, pecahan kaca, potongan benda-benda plastik warna warni yang hancur berserakan dimana-mana, dan pohon serta semak belukar yang tumbuh serampangan. Merambat di setiap sudut reruntuhan. Tempat ini bagaikan hutan mini yang berada di tengah kota. Sangat tidak terawat, kontras dengan bangunan-bangunan lain di sekelilingnya.
Lebih dari 20 tahun lahan ini dibiarkan begitu saja. Tidak ada keindahan yang tersisa, hanya perasaan ngeri yang membuat bulu kuduk berdiri. Perasaan yang selalu dihembuskan oleh angin. Reruntuhan itu seakan membisikan kehampaan yang menemaninya selama bertahun-tahun. Tidak ada lagi tawa pun senda gurau yang mengisi atmosfernya. Tempat ini telah lama dilupakan, dan tidak ada lagi yang mau datang kesini. Kecuali aku.
Aku menatap jauh menembus tumpukan puing yang berserakan. Dulu, di tempat inilah kutemukan alasan bahagiaku. Dan kini, tempat ini pula yang menjadi alasanku pulang.
Rasanya seperti baru kemarin aku menjadikannya sebagai tempat favoritku. Aku rela berjalan kaki kiloan meter untuk tiba di sini, karena uang saku yang diberi Oma hanya cukup untuk ongkos pergi dan pulang sekolah.
Aku bangun lebih pagi agar bisa tiba di sekolah lebih cepat, dan pulang terlambat demi bisa berada di sini. Aku bahkan tidak memperdulikan setiap cambukan dan omelan yang kuterima sebagai resikonya. Sungguh aku tidak peduli, dan aku siap menahannya berulang kali demi waktu-waktu yang kuhabiskan disini. Ah, sungguh masa lalu yang indah pun menyedihkan. Kenangan tentangnya menjadi harapan yang kugenggam dalam keputus-asaan di masa itu.
Aku menghembuskan napas dalam-dalam. Sudah lebih dari 20 tahun, tapi rasanya tetap menyakitkan. Sama seperti waktu itu.
"Sebetulnya ini tempat yang strategis, Pak." Suara berat seorang pria membuyarkan lamunanku
Dia adalah agen real estate yang membantuku mengurus urusan jual beli lahan ini. Namanya Samuel Wattimena. Beliau adalah pria kelahiran Ambon, bertubuh tinggi besar, berkulit hitam, rambut keriting, khas penduduk asli kota ini. Usianya akhir 40 tahun. Meski bertubuh besar dan terlihat seperti preman terminal yang biasa ada di ibukota, Pak Samuel ini memiliki senyum yang ramah.