RUMAH: Ada Aku di Sana!

Dea Ayusafi
Chapter #1

Bab 1

Seluruh tubuhnya terasa kaku membeku. Udara tiba-tiba terasa lebih dingin berkali-kali lipat. Padahal perempuan itu ingat betul. AC di dalam kamarnya sudah ia matikan sebelum ia benar-benar terlelap. Tidak ada suara. Tidak ada siapa-siapa. Hanya dirinya yang terbaring kaku tanpa bisa mengendalikan diri. Ia tidak bisa menggerakkan sekujur tubuhnya. Mati rasa. Sekuat apa pun ia mencoba, tidak ada hasilnya. Pasrah. Ia hanya bisa pasrah dan menunggu segala mimpi buruk itu berakhir. 

Jiwanya seolah melayang ke sesuatu tempat yang tidak lagi asing. Juga, segala hal yang akan ia lalui di dalam ruangan remang itu kembali terulang. Kakinya mulai basah oleh air sedingin es yang entah datang dari mana. Perlahan, namun pasti, jemari yang membiru itu menyusuri telapak kakinya. Dekat dan semakin mendekat. Meski berusaha menutup matanya sekuat tenaga. Lagi dan lagi, ia harus menyaksikan bagaimana jemari itu mengusap pipinya dengan lembut. Dalam hitungan detik kemudian, jemari mungil dengan kuku hitam sudah siap mencengkram wajahnya. Ia bisa merasakannya rasa sakit tidak tertahankan kala kuku-kuku itu menusuk wajahnya dengan kuat. Ia hanya mampu berteriak di dalam hati. Wajahnya kini basah, bukan oleh air atau pun keringat. Melainkan oleh darahnya sendiri. 

Mimpi buruk itu datang lagi. Masih sama seperti mimpi-mimpi sebelumnya. Seolah-olah kaset rusak yang sengaja diputar berulang-ulang. Membuat siapa pun yang mendengarnya tidak akan tahan barang satu detik. Sialnya, semua itu telah berlangsung tiga bulan lamanya. Alea tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Entah faktor stres yang melanda atau benar seperti dugaan Sela. Mimpi-mimpi yang ia alami ada campur tangan makhluk halus. Untuk poin terakhir, Alea tidak ingin langsung percaya. Tentu saja, tidak perlu ada alasan untuk hal tersebut. Ia tidak ingin hidupnya berurusan dengan hal-hal seperti itu. 

“Alea, kau ambil cuti?” tanya Sela dengan langkah tergesa-gesa. Es teh dalam pegangannya nyaris tumpah ke lantai. 

Alea memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, lalu mengangguk. Iya. Alea mengambil cuti setelah tiga tahun terakhir bekerja di sana. Menjadi salah satu editor di kantor penerbit terkemuka di kota Jakarta. Jika boleh jujur, pekerjaan yang ia geluti sekarang merupakan suatu kebanggaan tersendiri baginya. 

Suara berisik dari sedotan yang Sela isap membuat Alea sungguh malas mendengarnya. Padahal teman seperjuangannya itu bisa saja mengisapnya tanpa harus mengeluarkan suara. Toh, es teh itu akan sama-sama berpindah ke dalam mulutnya. Berjalan melewati tenggorokannya. Dan berakhir masuk ke dalam perut karetnya. Ah, walaupun begitu, Alea pasti akan merindukan cara Sela menikmati minumannya. 

“Jangan menatapku dengan mata merahmu! Kau sangat menyeramkan!” Sela bersungut-sungut. Ia menutupi mata Alea dengan telapak tangannya. 

Perempuan tersebut menepis pelan telapak tangan temannya. “Jangan berlebihan. Aku hanya tidak tidur semalam.”

Sela menyipitkan mata, lalu menunjuk Alea dengan kesal. “Hanya tidak tidur semalam? Astaga. Dengan penampilanmu sekarang, kau seperti induk ayam yang kehilangan anaknya.”

Sela terlalu jujur. Namun, apa yang baru saja ia katakan memang ada benarnya. Kondisi Alea tiga bukan terakhir benar-benar semakin memburuk. Badannya remuk redam. Wajah yang dulunya tampak segar berseri kini berganti kusam berjerawat. Sungguh, demi apa pun, ia sangat merindukan tidur yang berkualitas!

Lihat selengkapnya