20 Oktober 2002.
Bulan purnama membulat sempurna di langit malam bercuaca dingin. Sepasang kekasih yang kasmaran berduaan dalam sebuah rumah pondokan kayu sedikit jauh dari permukiman penduduk.
Rumah No.133, dimana banyak pepohonan rindang di sekitarnya, yakni tempat persembunyian paling leluasa bagi mereka pecinta terlarang, tak ada siapapun yang bisa menghentikan. Mereka sudah tenggelam dalam jerat cinta terlarang.
Perempuan cantik berambut gelombang bergaun tidur panjang tanpa lengan berbahan satin warna putih, duduk di depan meja rias, becermin, menyisir rambutnya ke samping lalu memakai parfum terharum untuk kekasihnya. Sepasang tangan kekar beraroma mint segar memeluk tubuhnya erat.
“Kapan kamu akan meninggalkannya? Kamu bilang mencintaiku, nyatanya masih terikat sama lelaki bodoh itu.”
“Sayang, lihatlah aku di sini ada untukmu, bukan? Sabarlah, sedikit lagi aku akan meninggalkan si bodoh itu,” balas si perempuan semringah, “istrimu tidak akan kembali lagi, bukan?” lanjutnya.
“Sampai saat ini kupastikan dia tidak akan kembali ke rumahku. Beruntungnya dia, tidak sungguh-sungguh kita habisi, hanya gertakan kecil saja dia sudah ketakutan dan pergi. Selepas ini aku langsung urus surat perceraiannya,” ujar pria itu bungah.
“Kamu tidak akan bisa membunuh istrimu karena kasihan pada anakmu, bukan? Kalau dia bisa melahirkan anak perempuan, aku akan memberimu anak laki-laki, Sayang,” tukas perempuan itu sembari mengecup pipi pria yang memeluknya.
Tiba-tiba terdengar suara barang terjatuh dari luar kamar.
“Kamu dengar sesuatu?” tanya pria yang memeluknya.
“Iya, Lex. Aku dengar. Mengapa ada suara begitu? Apa ada orang lain selain kita?” tanya perempuannya setengah berbisik, wajah mereka mulai pias dan pria itu menggeleng.