Rumah Amora

Rosi Ochiemuh
Chapter #4

Mimpi Pertama


Agustus, 2017.

Langitnya hari ini begitu cerah, dan suasana di sekitar sini terlihat indah. Aku dan Ibu sedang bertamasya, piknik di Taman Matahari. Kami sudah lama tidak melakukan ini, setelah aku tamat SD.

“Ibu, Amora boleh berjalan sebentar? Ingin lihat-lihat hiburan. Boleh, ya?” tanyaku, dan Ibu mengangguk tersenyum.

Langkahku berjalan di antara banyak pepohonan rindang, suasananya asri dan sejuk. Baru beberapa langkah saja aku berhenti sejenak, kulihat langit mendadak mendung. Ketika akan kembali ke tempat duduk kami tadi. Merasa aneh dengan suasana yang berubah secepat itu, kusadari tidak ada siapapun di tempat kami tadi. Keadaan yang ramai jadi senyap. Ke mana orang-orang tadi? Cepat sekali hilang, atau mereka sudah berangkat pulang.

Ke mana ibuku? Hanya pepohonan rindang dan senyap saja, ini bukan Taman Matahari, tempat apa ini? Kepalaku rasanya lelah berputar mencari mereka, tapi tidak satu pun terlihat.

Pandanganku berkeliling menekuri apa saja yang ada, sampai terengah-engah lalu aku melihat sebuah rumah agak jauh di seberang sana. Aku jalan ke sana, siapa tahu ibuku ada, atau nanti bisa dapatkan bantuan.

Sampai di depan rumah itu kudengar suara laki-laki dan perempuan merintih kesakitan. Bulu kuduk meremang, apakah Ibu ada di dalam sana? Aku masuk ke dalam mencari suara itu mengendap-endap.

Dalam ruangan besar ini samar-samar terlihat seseorang duduk di pojok ruangan bercahaya minim, orang itu menangis, dan anehnya menyebut namaku.

“Amora, oh, Amora.”

“Kamu siapa? Mengapa tahu namaku?” tanyaku heran. Lelaki asing dengan suara aneh dan lirihnya menyetrum sampai debaran dadaku, dia menyebut namaku.

Perlahan dia mengangkat kepalanya menghadap ke arahku masih duduk memeluk diri. Aku tidak begitu jelas memandanginya, karena dalam ruangan itu cahayanya diterangi lilin-lilin yang menyala.

“Tolong, tolonglah aku, Amora. Aku ingin pergi dari sini, Amora,” gumamnya, aku bingung sekaligus merinding. 

Cuma beberapa saat, kemudian terdengar rintihan perempuan seperti sedang disiksa. Aku menoleh pada sumber suara. Apakah itu ibuku? Kurasa itu bukan suaranya.

Saat kaki ini melangkah mendekati tempat di mana sumber suara berasal, lelaki tadi menghilang. Tidak ada lagi, ke mana dia? Cepat sekali perginya. Kemudian aku tidak lagi berpikir apa pun. 

Kucari suara sedih perempuan tadi. Meski kaki ini gemetar dan degup jantung berdetak cepat. Suara itu makin jelas saat berada di lorong rumah yang menuju ke ruangan lainnya. Di situ agak gelap, hanya ada satu lilin yang menerangi. Keringatku makin mengucur. 

Langkahku melambat saat kusadari di sana, orang-orang berpakaian hitam dengan beringas memukulinya, lalu menusuk-nusuk tubuh perempuan itu dengan benda tajam. Gaun putihnya berlumuran darah.

Aku tersentak dan berteriak, lalu orang-orang itu menoleh ke arahku dengan tatapan menikam, dan siap mendekat. Apa mereka juga akan berbuat jahat padaku? Ya Allah, aku sangat takut, sampai menggigit bibir sendiri.

Lihat selengkapnya