September, 2017.
Pulang sekolah hari ini, cuacanya terik sekali. Aku ingin mampir sebentar ke kantin minum es kelapa. Masih pukul sebelas siang. Ibu sedang tidak ada di rumah, karena masuk kerja giliran pagi dan jam empat sore baru pulang. Tempat kerjanya tidak jauh dari rumah, itu mengapa sejak aku duduk di bangku kelas 3 SD sudah terbiasa ditinggal Ibu kerja.
Saat itu Ibu tidak sanggup bayar pengasuh lagi. Sebelum berangkat kerja, Ibu sudah memasak nasi, sepanci sayur asem, tempe dan tahu goreng, juga buat sambal. Pulang sekolah, aku hanya tinggal menghangatkan makanannya lagi di atas kompor.
Bersyukurnya, tetangga kanan dan kiri kami orangnya baik-baik. Mereka kadang perhatian padaku juga Ibu. Namun, anak-anak mereka tidak terlalu dekat denganku, mungkin aku yang menjaga jarak pada mereka, karena aku tidak mau terlalu dicampuri.
Waktu pertama kali kami pindah ke rumah kecil itu, pada saat aku berumur dua tahun. Ibu pernah bilang, semua orang bertanya, di mana suaminya. Ibu lalu berbohong dengan mengatakan suaminya sudah meninggal dunia saat aku masih bayi, padahal ibuku pun tidak tahu kebenarannya.
Sebelum pindah ke rumah kecil kami yang sekarang, Ibu dan aku pernah tinggal bersama Umi Sakdiyah dan suaminya dekat dengan pesantren. Mereka yang menolong Ibu waktu sakit parah, waktu itu aku masih bayi.
Setelah tinggal di rumah kecil itu, Ibu bantu-bantu tetangga yang berjualan warung nasi di depan jalan raya untuk mencukupi kebutuhan kami. Alhamdulillah semua berjalan baik. Uang jerih payah Ibu, bisa membayar harga sewa rumah kecil yang sekarang kami tempati.
Kami memang belum punya rumah sendiri. Masih mengontrak dengan harga sewa per tahun. Untung pemilik kontrakannya baik sekali. Jika Ibu belum bisa bayar, dia akan menunggu, bahkan pertama kali kami tinggal, saat Ibu belum cukup uang untuk membayar penuh, pemilik rumah itu memberi potongan setengah harga. Pemilik kontrakan itu sekarang sudah bergelar haji, dan anak-anaknya sudah sukses.
Aku dan Ibu, memegang kunci rumah masing-masing. Jadi, jika aku belum pulang karena ikut les pelajaran tambahan setelah pulang sekolah, Ibu bisa membuka pintu. Aku juga sebaliknya. Pak Marko masih sering datang ke rumah. Mereka berdua sibuk mengurus acara pernikahan nanti. Kudengar Ibu ingin akad nikah saja tanpa resepsi pernikahan. Hanya mengundang sanak saudara Pak Marko, kerabatnya, tetangga dan teman kerja Ibu. Teman Pak Marko juga. Umi Sakdiyah dan Abi, tentu akan jadi saksi pernikahan mereka.
Namun, nyatanya sekarang ini aku ragu pada Pak Marko sejak pertemuan di rumahnya itu. Sungguh, aku takut apa yang terjadi pada Ibu setelah jadi istrinya. Apakah semua ayah tiri akan sama, jahatkah? Baik hanya pada istrinya tidak dengan anak sambungnya? Sekilas aku teringat lagi mimpi buruk itu. Suara lirihan laki-laki yang memanggil namaku meminta tolong. Siapa dia, ya?
“Neng Amora, ini pesanannya. Kok, ngelamun?” tegur Pak Budi, pemilik kantin. Aku terperanjat.
“Eh, iya, maaf, Pak. Terima kasih.”
“Sendirian saja, mana temannya? Biasanya ke mari sama mereka,” ujar Pak Budi sambil mengelap meja-meja yang terkena basah minuman dingin.
“Ingin sendirian saja. Temanku pada sibuk, Pak.”
“Lha, sibuk kenapa? Biasanya bareng-barengan,” sahutnya tersenyum.
“Mereka sudah punya pacar masing-masing. Pulang bersama pacarnya,” jawabku. Pak Budi terkekeh. Mungkin terdengar lucu.
Memang yang kubilang itu kenyataan, karena sejak semester dua ini dua teman dekatku sudah berbeda. Gita sekarang sudah punya pacar, anak kelas tiga. Setiap hari dia pulang bareng pacarnya dengan sepeda motor. Ririn, yang tadinya pendiam dan lugu, juga punya pacar, lalu lupa kumpul-kumpul sama aku. Dasar, mereka. Memangnya enak pacaran? Aku sebenarnya orang yang tidak suka diatur-atur orang lain. Apalagi dikuntit. Pacaran itu seperti dikuntit, diatur-atur. Lebih enak begini, jadi diri sendiri.
Aku mengecek ponselku, kalau saja ada panggilan tak terjawab dari Ibu. Ternyata tidak ada. Pukul setengah dua belas. Kantin sudah agak sepi, Pak Budi sebentar lagi beres-beres mau ke masjid seberang. Dia biasa salat zuhur berjamaah di masjid.
“Pak, aku pulang dulu, ya. Terima kasih,” ujarku sambil keluar.
“Iya, Neng. Hati-hati di jalan. Langsung pulang, jangan mampir ke mana-mana,” sahutnya.
Jarak sekolah dari rumahku sebenarnya tidak terlalu jauh. Aku terbiasa berjalan kaki. Azan zuhur berkumandang dari masjid seberang jalan. Ibu bilang sebelum azan zuhur kalau tidak ada les, aku harus tiba di rumah.