September, 2017.
Berangkat ke sekolah tadi aku merasa ada yang kurang. Perbincangan semalam menimbulkan ketegangan antara aku dan Ibu. Aku jadi resah. Seharusnya aku tidak bersikap begitu padanya, tapi bagaimanapun, Ibu salah sudah melewatkanku hal terpenting dalam hidupnya.
Apa salahnya jika bicara baik-baik padaku tentang rahasianya, dan rahasia ayah kandungku. Banyak pertanyaan terpikirkan dalam kepala. Tentang mengapa Ibu pergi membawaku dari rumah ayah, dan siapa sebenarnya ayahku dan keluarganya? Ibu tidak mau membuka cerita rahasia seluruhnya.
“Amora! Kamu melamun saja, sih.” Gita menegur, dan aku terperanjat dari pertanyaan dan lamunan yang berkeliaran dalam kepala, lalu buyar begitu saja.
“Nanti aku pinjam buku catatanmu, ya,” ujarnya lagi menepuk bahuku.
Aku mengangguk, “Iya, Ta.”
“Kamu sedang memikirkan apa, Amora? Sepertinya jauh sekali lamunannya.”
“Tidak, tidak apa-apa. Cuma mengingat-ingat sesuatu,” jawabku seadanya. Kening Gita berkerut seakan kurang puas dengan jawabanku.
“Kamu bohong, Am, pasti lagi memikirkan pernikahan ibumu, kan?” Tebak Gita. Dia memang benar, aku jadi serba salah.
“Sebenarnya, aku semalam sedikit berdebat sama ibuku. Iya, tentang itu sih,” ujarku, sembari mengetuk jari telunjukku di atas meja berkali-kali.
“Mengapa kamu bisa berdebat sama ibumu? Biasanya kamu selalu bercerita yang baik-baik tentang ibumu. Apa masalahnya? Apa itu calon suami ibumu?” tanya Gita lagi.
Tebakanmu benar lagi, Gita, pikirku. Aku mengangguk lalu menopang dagu dengan tatapan ke mana-mana tanpa gairah.
“Menurut aku, sih. Kamu terima saja yang ibumu inginkan. Mungkin disitulah sisi lain kebahagiaan yang sudah lama tidak ibumu dapatkan, atau memang sudah jodoh ibumu, Am,” sambung Gita padaku, seperti biasa memberi saran.
Walaupun sekarang Gita dan aku tidak lagi dekat, tapi dia ternyata masih perhatian, dan perkataannya selalu tersirat nasihat baik. Dia memang sedikit bijak di usia belianya ini. Aku malah belum bisa seperti itu.
“Iya, sih..., akan tetapi aku merasa sejak calon ayahku itu datang ke dalam kehidupan kami, sudah dua kali kualami kejadian,” kataku pada Gita.
Gita menatap dengan kedua alisnya sedikit naik. Lantas menepuk-nepuk bibirnya dengan jari telunjuk. Kalau Gita seperti itu tandanya dia lagi berpikir.
“Maksudmu anehnya seperti apa? Aku tidak paham,” tanyanya penasaran.
“Gimana ya menjelaskannya. Begini, waktu aku dan Ibu selesai pulang dari rumah calon ayahku itu, malamnya aku mimpi seram sampai tidak sadar berteriak. Kedua, setelah kami pulang dari rumah Umi. Ada laki-laki berdiri di bawah tiang listrik di seberang jalan raya, dan posisinya berdiri menghadap rumah kami, seperti sedang mengawasi. Aku jadi khawatir,” ujarku lagi pada Gita. Dia mendengarkan.
“Oh, mungkin hanya kebetulan lewat saja, Amora. Banyak sesuatu yang kebetulan. Akan tetapi kita selalu tak menyadarinya,” ujar Gita menanggapi.
Tanggapan Gita saat itu bagiku tidak memuaskan rasa penasaran, mengapa bisa bersamaan. Tanggapan yang umum, jawaban semua orang akan sama. Supaya kita tidak berpikiran buruk terus.
“Ya sudah, kamu jangan terlalu banyak mikirin urusan orang dewasa, Am. Nanti kamu tidak bisa fokus belajar. Oh, iya. Maaf, Am. Hari ini aku tidak pulang bareng kamu lagi,” ucapnya cengar-cengir, “Kak Aditia mau pulang bareng aku,” lanjutnya lagi tersipu-sipu.
Kubalas tersenyum, dan berterima kasih padanya sudah mau mendengarkan curhatanku.
Gita tidak berubah. Masih seperti dulu mau mendengarkan. Dia selalu jadi seorang yang bilang semua akan baik-baik saja jika kita menceritakan keluhan padanya. Yah, begitulah.
Sudah waktunya jam pulang sekolah. Aku merapikan buku dan tas, lalu beranjak dari tempat duduk setelah lonceng sekolah berbunyi dua kali. Ke luar dari pintu gerbang kulihat di samping sekolah anak-anak kecil bermain layangan bersama orang dewasa lainnya.
Rasanya ingin melihat sebentar mereka menerbangkan layang-layang. Aku berdiri di antara orang-orang yang menerbangkan layangan. Rupanya sekarang musim layangan. Kebanyakan bentuknya segiempat, dan coraknya beraneka warna.
Dulu waktu aku kecil pernah bermain layang-layang sesekali, di dekat rumah yang ada lapangan kosong di belakangnya. Waktu Ibu libur kerja, sering menemaniku bermain layangan. Ibu membantu menerbangkan, dan aku yang kendalikan talinya.
Ketika menerbangkan layang-layang milik kita, ada rasa senang dan bangga. Apalagi jika layangannya sudah sangat tinggi. Namun, tidak jarang selepas terbang tinggi, datang layangan lain dan pemiliknya berusaha memotong tali layangan kita agar putus. Itu sungguh menyebalkan, lalu layang-layang putus itu jadi rebutan. Mereka mengejar layangan putus agar bisa dimiliki kembali dengan usaha apa pun. Ya, meski harus melewati jalan raya, menempuh hal berbahaya.
Jika sudah jadi hobi, selalu dibilang orang tua itu adalah kerjaan tidak waras. Beli layangan, dimainkan dan ketika putus dikejar. Padahal logikanya bisa beli lagi, atau buat lagi, kan. Belum tentu yang putus itu masih bagus. Mungkin saja sudah robek tertarik, jelas sulit untuk diterbangkan lagi jika sobek. Kenyataannya mereka tetap begitu, bahwa layang-layang suatu hal yang menyenangkan untuk dimiliki lalu diterbangkan.
Sedang asyik berdiri memandangi layang-layang, pandangan mataku sejenak teralih pada kantin sekolah. Aku merasa ada orang yang memerhatikan sejak tadi dari kantin. Laki-laki dewasa yang memakai topi hitam dengan tas gendong, duduk di bangku luar. Ketahuan olehku, dia pura-pura melempar pandangannya ke tempat lain. Siapa lagi ini?
Aku gegas berjalan meninggalkan tempat kawanan pemain layang-layang. Sambil menoleh ke belakang, rupanya orang itu sudah tidak duduk lagi di depan kantin. Terkejut aku, ke mana orang tadi? Pandanganku berkeliaran, semoga saja dia sudah pergi. Lanjut berjalan lagi. Aku merasa ada yang menguntit dari belakang. Orang tadikah?