September, 2017.
Acara makan bersama di luar yang dijanjikan Pak Marko akhirnya terlaksana. Aku dan Ibu diajaknya sore ini ke tempat yang agak jauh dari tempat tinggal kami. Sekarang ini dia selalu memakai mobilnya jika ke rumah, aku tidak lagi melihatnya datang dengan motornya. Aku agak cemas jika tetangga kami nanti mencibir, saat melihat dia selalu datang ke rumah dengan mobilnya.
“Amora, bagaimana dengan sekolahmu hari ini?” tanya Pak Marko, melihatku dari kaca spion di depannya sembari menyetir mobil.
“Hari ini biasa saja, sama saja, Pak,” jawabku datar. Ibu berdeham, mungkin menegur aku yang tidak serius menjawab pertanyaan Pak Marko.
“Oh ... Sama saja, ya.” Pak marko menyahut, terangguk-angguk.
Sejak berangkat dari rumah tadi, aku hanya tersenyum hambar. Meski aku sudah berdamai dengan Ibu, bukan berarti orang itu bisa terbebas dari kecurigaanku. Acara makan bersama di luar yang dijanjikannya memang terdengar menarik. Akan tetapi setelah dia datang ke rumah, suasana hatiku berubah tidak senang padanya. Ajakan itu seperti ingin menyuap anak kecil dan seharus menurut saja tanpa memberontak, begitu maksudnya.
Aneh terasa disaat ini malahan aku teringat di kelas waktu itu, ceritaku pada Gita tentang Om Audri. Gita ternyata tidak kenal sama Om Audri. Aku masih penasaran dengannya karena belum memberi ucapan terima kasih. Utang terima kasih, terdengar lucu. Mungkin jika beruntung, bisa bertemu lagi dengannya.
Sepanjang perjalanan Ibu dan Pak Marko terus berbincang. Sesekali terdengar tawa di antara mereka, aku seperti obat nyamuk saja di antara mereka. Itu karena aku selalu diam, jika diajak bicara kujawab singkat dan datar.
“Amora, kamu tahu tidak, kita akan makan di mana?” Tiba-tiba Pak Marko berkata dengan senang, aku terperangah seperti baru bangun dari tidur.
“Rumah makan Sunda, Restoran Padang, mungkin?” jawabku terpaksa. Ibu dan Pak Marko terkekeh.
“Ibumu cerita bahwa kamu ingin sekali makan piza yang paling enak. Kamu dulu hanya bisa dibelikan ibumu piza abang-abang gerobak,” ujar Pak Marko terkekeh. Aku terkejut, dan jadi malu mendengarnya.
“Ah, Ibu. Buat apa sih cerita begitu,” protesku pada Ibu, aku langsung cemberut.
Beraninya Ibu bercerita tentang aku pada Pak Marko yang belum sah jadi ayahku. Dalam hati ini, sungguh menyebalkan.
“Kamu tidak senang?” tanya Ibu tersenyum, dan memang aku tidak senang. “Pak Marko itu bertanya, makanan apa yang Amora sangat inginkan. Ya, Ibu kasih tahu.”
“Hari ini kita akan ke restoran piza. Amora bisa pilih makanan sepuasnya di sana,” ucap Pak Marko semringah.
Pria ini memang ingin menyuapku. Seperti di film-film, jika ingin mendapatkan hati sang kekasih dia juga harus menyenangkan hati orang terdekat kekasihnya. Lihat saja nanti, apa aku akan terbujuk dan menyerah?
Akhirnya tibalah kami di depan sebuah gedung yang bertuliskan Pizza Hut Restaurant. Mobil Pak Marko sudah terpakir pada lahan parkiran. Tempat parkirnya luas, gedungnya besar, tempat duduknya banyak dan tertata rapi dengan ornamen ruangan yang klasik dan modern. Restorannya bagus, gumamku.
Pak Marko mengajak kami ke lantai dua. Kami akhirnya berada di lantai dua dan menemukan tempat duduk paling bagus dan tidak terlalu ramai, ada di balkon. Balkonnya luas dan tiap tempat duduk ada empat kursi rotan menghadap meja segiempat.
Suasana di balkon ini memang lebih menarik daripada di dalam ruangan ber-AC. Memanjakan mata dengan pemandangan luar sekitar gedung, sambil menikmati makanan, angin sepoi memberi rasa segar alami.
Seumur-umur aku baru diajak makan di restoran piza terbaik yang iklannya selalu wara-wiri di televisi. Sekarang aku sudah berada di dalam restorannya. Rasa takjub, senang, bahagia langsung datang saat memasuki gedung restoran ini. Terbesar di Karawang. Ya Allah, mimpi apa aku. Mataku jelalatan mengitari seisi restoran ini.
“Amora, ternyata Pak Marko mengajak kita makan di sini. Kamu senang tidak?” tanya Ibu semringah, buat aku tersadar dan lekas mengangguk.
Aku segera memperbaiki sikap, yang tadinya takjub berusaha untuk biasa saja. Akan tetapi Ibu sepertinya tahu, perubahan dari sikapku karena gengsi. Entahlah, sikap gengsi ini sebetulnya turunan siapa, Ibu atau ayah kandungku?
Buku menu sudah ada di meja, mataku berbinar-binar dengan menu makanan yang terlihat menggiurkan dan pasti lezat. Kucoba untuk biasa saja di hadapan mereka. Namun, selalu gagal. Gara-gara makanan lezat ini. Pak Marko tahu betul cara merebut hati orang.
Pesanan sudah datang, Pak Marko memesan paket Triple Box dengan delapan menu beserta piza dua macam jadi satu pesanan. Dia juga memesan Spageti dan Manggo Tea hangat, aku memesan minuman dingin Blue Ocean, Ibu memesan Lemon Tea hangat, dan kami juga pesan tiga air mineral kemasan.