September, 2017.
Acara makan bersama waktu itu menyisakan satu cerita masa lalu Pak Marko tentang Sandra yang mati terbunuh. Dari satu penjelasan lalu datang cerita baru yang terserap di kepalaku, dan menciptakan rasa penasaran lagi.
Sandra berhubungan dengan pria lain selagi dia jadi calon istrinya Pak Marko. Yah, menurutku wajar jika Pak Marko marah dan patah hati. Bukan percintaan remaja semata yang begitu, tapi yang ini hubungannya sudah serius.
Satu lagi yang kupikirkan, Om Audri. Kebetulan aku melihat dia di sana. Mengapa dia sendirian, ya? Sungguh membingungkan.
“Bagaimana dengan acara makan-makannya, Amora?” Gita tiba-tiba muncul di sampingku.
“Eh, Gita. Tumben, jam segini kamu baru datang. Lima menit lagi bel masuk,” sahutku. Wajahnya hari ini kelihatan kusut.
“Itu, aku kesiangan. Sore kemarin aku diajak Kak Aditia nonton di bioskop. Film horor terbaru. Judulnya, Pengabdi Setan. Seram banget, Amora, sampai malamnya aku tidak bisa tidur,” keluh Gita.
“Oh, begitu. Pantas saja mukamu kusut banget,” ujarku pada Gita.
“Amora, cerita dong. Acara makan barengnya sama calon ayahmu itu,” ucap Gita menodong sambil cengar-cengir.
Aku menghela napas, “lumayan, kok,” ujarku datar. Sebenarnya aku malas bahas tentang itu. Sekarang harus terima saja apa yang Ibu inginkan.
“Jawabannya malas banget, sih,” celetuk Gita. Bibirnya mengkerut, “kamu bilang calon ayahmu itu sering pakai mobil sekarang, kan. Pasti diajak makan ke restoran bagus. Cerita dong Amora,” bujuknya memaksa. Sambil menggoyang-goyangkan lenganku.
Gita ini aneh. Kadang kelihatan dewasa dan bijak. Sekarang mirip anak kecil manja. Gadis yang membingungkan. Kedua mata Gita memelas. Aduh, aku jadi teringat kucingnya Bu Bedah yang minta makan padaku saat aku lagi makan ikan goreng.
“Iya, deh. Aku cerita tapi tidak, semua, ya,” ujarku, dia tersenyum.
“Kemarin itu aku dan Ibu diajaknya ke restoran piza di Karawang sini.” Kedua mata Gita berbinar, “terus, ya gitu. Makan-makan saja, ngobrol, mendengarkan Ibu dan Pak Marko membahas masa depan,” ujarku. Gita mengangguk dan kelihatannya belum puas akan ceritaku.
“Oh, gitu. Enak dong bisa makan piza sepuasnya, kamu tidak ada saingan makan di sana, makannya pasti banyak,” celetuknya, aku tertawa kecil sembari ditahan.
“Iya, dong. Makan piza sepuasnya. Hemm, enaknya terasa sampai sekarang,” tukasku menggoda Gita, dibalasnya dengan senyum menyungging.
“Terus, bagaimana dengan kamu, rasanya nonton di bioskop bareng Kak Aditia. Jangan-jangan, cuma kalian berdua saja, dan yang ketiganya setan, lho,” gurauku padanya. Mukanya memerah lalu cemberut.
“Tidaklah! Aku dan Kak Aditia itu pergi tidak berduaan saja. Kak Aditia bawa adik ceweknya dan aku bawa sepupuku,” kilahnya melotot padaku.
Tawaku lepas dan Gita makin cemberut. Kemudian dia berbalik badan menghadap ke depan untuk mempersiapkan diri mulai belajar dan muka cemberutnya itu berganti serius.
Begitulah Gita yang kukenal. Jika bercanda dengan meledeknya, kesalnya tidak akan lama. Pasti akan kembali ke semula. Kupikir sekolah ini adalah tempat dia untuk serius, sedang aku dan teman-teman di sekolah ini hanyalah selingan hari-harinya.
Gita jadi teman sebangku sejak kami memasuki semester satu kelas sebelas ini. Ririn juga temanku. Tadinya kami bertiga sering jajan bareng di kantin waktu kelas sepuluh, aku, Gita dan Ririn. Setelah kami naik kelas, Ririn terpisah kelas dari kami. Akan tetapi kami masih sesekali jajan dan nongkrong bareng di kantin.
Hari ini Ibu masuk kerja pagi pulang sore, jadi aku bisa nongkrong dulu sebentar. Paling mainnya di kantin sekolah. Musim layang-layang masih ada di samping gedung sekolah. Ingin nongkrong di antara mereka, tapi tidak ada yang aku kenal. Di sana sebenarnya ada juga tempat nongrong, warung kopi yang jual jajanan camilan macam-macam, selain menjual kopi seduh dan mi instan siap saji.
Ririn, dia sudah lama tidak pernah nongkrong bareng aku, sekadar ngobrol, atau jajan. Semakin kemari mengapa para gadis selalu ingin jadi dewasa, jadi lebih serius dengan belajar disiplin, pacaran, dan enggan ikut campur urusan yang tidak penting. Aku masih ingin tetap jadi Amora yang selalu berada di samping Ibu. Tidak ingin jadi dewasa. Jika jadi dewasa mudah sekali bertemu kepedihan. Seperti ibuku.
Tiba-tiba dadaku hangat, sesak, air mata sudah mengumpul di pelupuk mata, siap untuk jatuh. Syukurlah hanya setetes dua tetes yang mengalir di pipi lalu kuhapus segera dengan lengan.
Aku baru saja duduk di dalam kantin sekolah, mencuri suasana yang akan selalu kurindukan di masa belia, untuk dikenang nanti. Suasana sekitar gedung sekolah ini yang buat semangat belajar, supaya jadi kebanggan Ibu.
Pak Budi masih di sini, belum menutup kantinnya. Kurasa mungkin kakek dari ayahku seusia dengan Pak Budi. Apakah masih hidup atau sudah meninggal?
“Eh, Neng Amora. Dari tadi di sini?” tegurnya dengan senyuman khas.