Rumah Amora

Rosi Ochiemuh
Chapter #9

Apa Arti Mimpiku?

September, 2017.

Cepat sekali hari sudah pagi dan mentari bersinar menyilaukan. Aku sedang berdiri di depan rumah mirip pondokan. Rumah kayu yang memanjang ke belakang bergaya khas rumah Sunda dan Eropa. Setengah dinding-dinding tiap sisi terbuat dari tumpukan batu kali dan semen yang dicat warna putih, bersanding dengan dinding dari kayu berplitur cokelat tua mengilap.

Aku merasa pernah kemari. Halaman rumah itu luas, suasananya asri. Pepohonan tumbuh dengan rapi berjajar di samping pagar rumahnya beserta tanaman hiasnya. Dihiasi juga beberapa tiang lampu penerangan berbentuk bujur sangkar dari kaca berkilau di beberapa bagian halaman dan samping rumah.

Seakan amnesia aku tidak ingat untuk apa datang ke sini. Rumah itu berdiri bersahaja seakan membuka pintu-pintunya hanya padaku. Kekokohan rumah itu menarik diri ini menuntun langkah kaki untuk masuk ke dalam sana.

 Muncul dari dalam rumah itu sosok lelaki tua berdiri di depan teras menyambut. Pak tua itu memakai jas linen warna putih berdasi merah saga, celananya berwarna sama dengan dasinya. Rambutnya beruban mengilap tersisir rapi dibelah samping. Dia tersenyum lebar, dalam sekali, sembari menunggu aku menemuinya.

“Amora, selamat datang di rumahmu. Ini rumahmu, gadis manis,” sambutnya dengan senyum lebar berwibawa.

Aku terpaku di tempat sejenak dan heran dengan sambutannya. Siapa lelaki tua ini? Mengapa dia bilang ini rumahku?

“Bapak ini siapa?” tanyaku bingung walau aku terkesan akan kehadirannya yang ramah dan penampilannya enak dipandang.

Dia tersenyum kembali dengan mimik yang lebih ramah. Masih berdiri tegap di depan teras lalu berkata lagi.

“Saya sebenarnya pemilik asli rumah ini beserta tanah pekarangannya. Rumah ini akan saya berikan kepadamu. Akan tetapi sekarang kamu belum bisa menempatinya, Amora. Beberapa kerikil kecil dan gelombang kepedihan yang menggetarkan akan hadir dalam lembar kehidupanmu, saat rumah ini akan menjadi milikmu, Amora.”

Masih geming di hadapannya, semua anggota tubuh ini diam dan tidak bisa bergerak sedetik pun. Namun, lima panca inderaku masih berfungsi dengan baik.

“Amora … sudah lama, saya menunggu. Kamu akan paham setelah benang-benang yang putus itu tersimpul, benang yang selama ini terputus oleh perbuatan anak kesayanganku. Satu lagi, akan datang dari bagian diri saya mendekati kalian. Dia sebenarnya tidak jahat, hanya mengincar seorang yang sudah melukai perasaannya dulu sekali,” ucapnya lagi, kemudian dia menunduk dan menarik napas.

“Jika saja, saya masih ada di antara kalian. Kebahagiaan itu tentunya akan selalu menyertai kehidupan ibumu dan penerusnya.”

Aku tersentak. Mengapa dia menyebut Ibu? Seluruh tubuh ini masih kaku, aku hanya bisa mengendalikan diriku dari kepala hingga bahu saja. Maksud dari semua itu apa? Pikiran ini menari berputar. Aku hanya bisa mengedipkan mata.

Tiba-tiba Lelaki tua itu lenyap di hadapanku. Badan ini langsung bisa digerakkan. Aku menarik napas panjang, tanpa kusadari langsung menuju pintu utama rumah ini. Sebelum membuka pintunya dan masuk ke dalam, kupandangi satu per satu bagian depannya. Mengapa bisa rumah ini dikatakan adalah rumahku? Laki-laki tua tadi siapa, bisa tahu aku dan Ibu, mungkin dia juga tahu Pak Marko?

Kubuka pintu rumah itu perlahan, langsung tercium aroma bunga sedap malam, wanginya menenangkan. Ruang utama yang agak besar, tidak ada properti atau barang apa pun di dalamnya dan terasa luas. Aku seperti melihat-lihat rumah baru yang akan dibeli. Setiap ruang yang kukunjungi sama, kosong melompong tapi lega. Banyak sekali jendelanya, dan pintu-pintu kamar.

Tidak ada satu orang pun dalam rumah ini. Sepi, senyap, tapi lega berada di dalamnya. Sejak kecil, aku dan Ibu belum pernah tinggal di rumah sebesar ini. Mungkin saja ini adalah tanda, kami akan mendapatkan rezeki besar dan bisa menempati rumah baru yang lebih besar juga nyaman.

Aroma sedap malam yang samar lewat lagi dan aku terhanyut dibuainya. Kedua mata ini langsung terpejam, dan aku merasa ingin jatuh ke lantai.

Brukk!

“Aduh! Aduh, sakit!” teriakku, rasanya sakit sekali.

“Amora! Kamu jatuh!” kudengar teriakan Ibu.

Aku membuka mata, dan kulihat pertama kali pelafon kamar kami. Lagi, ternyata aku mimpi aneh lagi. Mengapa juga aku jatuh dari tempat tidur, ya? gumamku kesal. Badanku sakit-sakit terutama di bagian punggung dan belakang kepala. Jangan sampai kepalaku benjol, sembari mengusap-ngusapnya cepat dengan tangan.

“Ya, Allah! Amora, kamu jatuh dari tempat tidur!" teriak Ibu lagi, sekarang di depanku langsung meraih tubuhku dan memapahnya.

“Iya, Bu. Amora juga tidak tahu bisa terjatuh begini,” ucapku merintih, kepala rasanya berkunang-kunang.

“Sejak kamu kecil, Ibu tidak pernah mendapati kamu jatuh dari ranjang saat tidur, Amora. Kok, sekarang bisa jatuh? Kamu lupa baca doa sebelum tidur, ya?” cerocos Ibu lagi.

“Amora mimpi aneh lagi,” ujarku sembari narik napas dan mengusap kening, aku sudah duduk di ranjang tempat tidur bersandar pada dinding.

“Memangnya mimpi apa, sampai kamu bisa jatuh segala?” tanya Ibu, kedua alisnya mengernyit memandangku.

“Amora mimpi berada di sebuah rumah yang terbuat dari kayu, besar, memanjang ke belakang dan halamannya indah. Amora lupa di sana itu untuk apa, dan hanya berdiri saja memandangi rumah besar itu mirip pondokan panjang. Keluarlah dari dalam rumah itu bapak tua sendirian tapi pakaiannya seperti penerima tamu di hotel.”

Ibu menyimak ceritaku, dan menatap tidak tenang.

“Dia membuat Amora mendekatinya. Menyambut Amora dan mengatakan bahwa rumah itu adalah rumahku. Katanya lagi, namun sekarang belum bisa ditempati, karena Amora akan mengalami kerikil dan gelombang kepedihan lebih dulu. Baru bisa tinggal di rumah itu. Yang aneh lagi, isi dalam rumah itu kosong dan bau rumahnya harum, bunga sedap malam.”

Ibu tercenung mendengarkan. Harusnya aku yang menarik napas panjang karena menceritakan mimpi aneh ini. Malah sebaliknya, Ibu menarik napas yang seolah dia yang bermimpi. Aku bingung, sambil garuk kepala sebentar.

“Rumah? Bapak tua?” sahut Ibu heran. “Apa bapak tua itu sering tersenyum dan ramah pada Amora?” tanya Ibu akhirnya.

“Iya, Bu. Dia juga bilang, Amora akan paham setelah benang-benang yang putus tersimpul kembali setelah diputus oleh kelakuan buruk anak kesayangannya. Akan datang seorang dari bagian dirinya yang mendekati kita, gitu, Bu. Ucapan bapak tua itu kelihatan aneh, tidak wajar. Aneh, kan, Bu?” jawabku sedikit mengingat apa yang kumimpikan.

Ibu merenung, dan memikirkannya. Menatapku lagi, kali ini Ibu memperhatikan aku bercerita tentang mimpi yang kualami. Selama ini jika aku mimpi dan ingin bercerita, Ibu akan bilang itu hanya bunga tidur karena aku lupa berdoa sebelum tidur.

“Ya sudah. Jangan terlalu dipikirkan. Setiap mimpi belum tentu terjadi. Ibu rasa itu jin yang menyerupai bapak tua itu, tapi mirip kakekmu. Waktu Ibu mengandung kamu, hanya dia lah orang dalam rumah itu yang sangat mengharapkan kamu lahir dengan sehat dan selamat. Kakekmu sangat baik, sampai meninggal dunia pun dia masih dicintai anak-anak yatim-piatu di rumah panti mana pun,” ucap Ibu, yang membuatnya membicarakan tentang kakekku. Sungguh aku terkejut.

“Jika kakek masih hidup, apakah Ibu masih bersama ayah dan bahagia?” tanyaku getir.

Ibu terperanjat menatap erat, kedua matanya terlihat berembun. Dia melempar pandangannya ke tempat lain. Tatapannya berbalik lagi menghadapku, kedua tangannya menyentuh pipiku dengan lembut sambil menatap lurus ke mataku.

“Tidak juga. Bagi Ibu, walau pun kakekmu masih hidup, rumah itu tetap seperti penjara. Ibu bahagia seperti ini bersama kamu, Amora,” ucapnya tersenyum.

Aku terdiam lama meresapi perkataannya. Lantas Ibu bilang ingin ke dapur, dan beranjak mencari obat buatku di kotak P3K. Aku menghela napas, masih terdiam lama dengan badan yang masih sakit dan kepala berkunang-kunang jika ingin menengok ke atas.

Mungkinkah mimpi itu sebuah tanda, jika aku akan bertemu dengan ayah kandungku atau seseorang yang masih terikat dengan ayah kandungku. Siapa? Kepedihan apa yang akan kurasakan nanti. Tiba-tiba air mata menetes saja di pipi. Aku merasakan sedih mendalam. 

Lihat selengkapnya