Rumah Amora

Rosi Ochiemuh
Chapter #10

Permintaan Calon Anak

September, 2017.


Tiga kali bertemu Om Audri, apakah dia punya keluarga di sini? Atau ada yang dia cari di dekat sekolahku ini. Dia misterius tapi masih ramah. Katanya dia punya keponakan perempuan, dan waktu masih bayi dibawa pergi. Dibawa pergi oleh siapa? Tega sekali jika begitu, orangnya. Mirip seperti kisahku. Waktu aku masih bayi, dibawa ibuku pergi supaya bebas dari kekerasan ayah kandungku dan keluarganya. 

Ponselku berbunyi. Pesan singkat dari nomor Ibu. Dia bertanya apakah aku sudah pulang ke rumah atau belum. Kujawab saja belum pulang masih di kantin sekolah. Ibu sudah tahu jika aku pulang sekolah selalu mampir ke kantin untuk jajan dan duduk-duduk sebentar. Jadi dia tidak pernah khawatir.

Kubolak-balik ponsel sembari berpikir, pulang sekarang atau nanti. Ibu sepertinya masih di luar dengan Pak Marko. Yah, aku jadi ingat sesuatu. Mengapa tidak meminta nomor ponsel Om Audri? Bisa kuundang dia untuk hadir di pernikahan Ibu. Atau bisa pakai jasanya untuk dokumentasi pengantin. Om Audri kan, fotografer, pikirku sambil mengetuk-ngetuk jari telunjukku ke meja. 

Sayang sekali, setiap aku bertemu dengan Om Audri, mengapa baru ingat sesuatu saat orangnya sudah pergi. Sekarang aku beranjak dari tempat duduk dan pamit pulang pada Pak Budi. Walaupun aku berjalan kaki lagi pulang ke rumah, tapi senang rasanya dibelikan minum es kelapa segelas penuh, dan uang jajanku tidak habis.

Sepanjang perjalananku berjalan kaki, beberapa orang menjual layangan di pinggir jalan. Musim layangan masih ada, rupanya. Ingin sekali aku membelinya, dan sewaktu-waktu bisa dimainkan jika libur sekolah. Aku berhenti sebentar di lapak salah satu pedagang layangan. Mereka menjajakan berbagai macam layang-layang dari yang kecil sampai yang besar. Bentuk-bentuknya lebih banyak bujur sangkar kecil, ada juga yang bentuk kerucut dan segitiga.

“Mang, layangannya yang kecil harganya berapa?” tanyaku sembari pilah-pilih.

“Satunya seribu lima ratus, tapi jika beli tiga, empat ribuan,” jawabnya.

Kulihat ada uang lima ribu di kantong, akhirnya kubeli tiga layang-layang bentuk bujur sangkar kecil yang berbuntut pita-pita kaset. Semua berwarna putih dengan corak yang berbeda.

“Bungkus, ya Mang, beli tiga,” ujarku. Layang-layangku dibungkus rapi, dan aku pergi setelah membayar. 

Sudah lama aku tidak main layang-layang. Suatu hari pasti akan kumainkan di halaman yang luas.

Hampir tiba di depan rumah, kulihat ada mobil Pak Marko terparkir di pelataran rumah. Berarti Pak Marko dan Ibu sudah pulang. Tiba depan pintu aku mengucap salam, mereka duduk di sofa dan di sekitarnya kelihatan barang belanjaan dalam plastik-plastik.

“Walaikumsalam, Amora sudah pulang,” sapa Ibu dan Pak Marko bersamaan. 

“Iya,” jawabku. 

Mereka tampaknya habis dari belanja keperluan untuk pernikahan. Ibu kelihatan senang. Pak Marko juga, lalu pandangannya teralih pada barang yang kubawa.”

“Kamu bawa layangan, Amora? Suka juga layang-layang?” tanya Pak Marko.

“Iya, tadi sepanjang jalan dari sekolah menuju ke mari banyak yang jual di pinggir jalan. Jadi aku beli saja. Kapan-kapan dimainkan.”

Aku pamit masuk ke dalam kamar. Rasanya lebih nyaman berada di kamar, lalu rebah ke kasur, celentang sebentar. Setelah sepuluh menit lantas ganti pakaian sebelum Ibu memanggil. Perutku sekarang jadi lapar, Ibu hari ini pasti tidak masak. Mungkin saja beli makan siang buatku. 

Benar saja, aku dipanggil dan disuruh makan siang bersama. Ternyata Ibu sudah beli makan siang di jalan dengan Pak Marko. Ada sop buntut, nasi dan sambalnya terhidang di ruang tamu. Ada juga makanan dari Bu Bedah tadi pagi. Rantangnya berisi sambal kentang hati, dan pepes ikan mas. Aku mengambil beberapa piring dan sendok dari dapur ke ruang tamu.

“Maaf, ya, Mas. Tempatnya begini buat makan bersama. Beginilah kami,” ucap Ibu sembari menyajikan. 

Pak Marko tersenyum lantas bilang, “tidak apa-apa, Lis. Di tempat aku tinggal saat ini malah lebih ribet.”

Aku hanya memerhatikan mereka berdua, selalu saja rasa tidak enak yang dibahas. Tiba-tiba terpikir sesuatu untuk kubahas di sini. Mumpung ada Pak Marko. Apakah dia akan mengatakan sesuatu jika kubahas sekarang? Ingin membahas rumah tinggal padanya. 

Baru saja dimulai makan bersama untuk kedua kalinya, aku langsung bicara saja yang membuat Ibu dan Pak Marko saling berpandangan. 

“Begini. Amora ingat sesuatu. Mau menanyakan hal yang sepertinya tidak penting tapi untuk kita ke depannya penting sekali.”

“Apa itu, Amora?” sahut Pak Marko lebih dulu, sembari menyantap makan siangnya.

“Jika Pak Marko dan Ibu sudah menikah? Selanjutnya apakah Pak Marko ikut kami tinggal di sini atau kami ikut tinggal sama Pak Marko? Rumah yang kami tinggali sangat kecil. Hanya punya satu kamar, dan masih kontrak,” ucapku sejujurnya.

Lihat selengkapnya