Rumah Amora

Rosi Ochiemuh
Chapter #12

Ancaman Baru


Oktober, 2017.

Kulihat layang-layang masih ada beberapa yang terbang di langit sekitar dekat gedung sekolah kami.

Pulang sekolah ini aku ada janji bertemu Om Audri di kantin sekolah untuk membicarakan kelanjutan percakapan dalam telepon, meski hanya akad nikah saja, setidaknya pernikahan ibuku yang kedua ini harus punya kenangan utuh. Tidak seperti pernikahan Ibu yang pertama, tidak punya satu lembar foto pun yang dibawanya untuk dikenang. Satu saja foto pernikahan ayah kandungku dan Ibu, tidak bisa kutemukan di lemari pakaian Ibu atau tempat privasi lainnya.

Aku dan Om Audri sudah berada dalam kantin sekolah, dia duduk di hadapanku. Penampilannya kelihatan resmi, sepertinya dia baru saja pulang dari tempatnya bekerja. Aku sudah menyiapkan satu kartu undangan untuknya sebagai undangan resmi. Seperti biasa kami lebih dulu memesan dua gelas besar es degan. 

“Ini undangan akad nikah Ibu untuk Om. Disertai denah lokasi, memudahkan Om menuju alamatnya,” ujarku memulai obrolan sembari menyodorkan kartu undangannya. Lantas diterima dan dibacanya sekilas bagian depan kartu undangan yang belum dibuka.

“Bagaimana, Om? Kira-kira berapa harga jasanya, kata ibuku?” tanyaku langsung pada inti pertemuan itu. 

“Amora … Amora, kamu baru saja datang sudah langsung bahas itu. Serius sekali, santai dulu sebentar,” sahut Om Audri. Aku jadi kikuk dan merasa tidak enak.

Dia minum esnya sembari memandang. 

“Sebentar lagi, kamu akan memiliki ayah baru. Apa kamu sudah menerima calon ayahmu dengan baik? Maaf jika Om bahas obrolan di luar urusan tadi.”

Sedikit terkejut dengan penuturannya. Aku seruput minumanku berulang-ulang dan mengaduk-aduknya untuk menata pikiran di hadapan Om Audri.

Sebenarnya, aku masih meragukan Pak Marko. Namun, kejadian yang hampir buat aku takut kemarin itu sekarang tidak lagi menghantui. Waktu kemarin, orang yang kukira mengawasi rumah kami, sekarang tidak tampak lagi batang hidungnya. 

Kurasa sejak aku bertemu Om Audri dan pertemuan berikutnya lagi, tidak ada yang kukhawatirkan tentang sesuatu yang janggal. Selain mimpi, mimpi aneh itu sekarang pun kerap jadi bunga tidurku saja.

“Itu, jika Ibu bahagia, aku pun bahagia. Calon ayahku baik. Dia memang mencintai Ibu apa adanya,” jawabku singkat. 

Air muka Om Audri kulihat berubah, alisnya terangkat ke atas dan keningnya berkerut. Apa jawabanku itu terdengar tidak menyenangkan atau terlalu berlebihan baginya? Apa urusannya dia kelihatan tidak senang, ya? gumamku dalam hati.

“Syukurlah kalau begitu. Kamu memang anak yang baik,” ujarnya kembali tersenyum.

“Urusan dokumentasi. Om juga akan datang bersama seperangkat dekorasi untuk latar belakang fotonya, agar hasilnya lebih bagus, karena kamu yang minta. Semuanya gratis,” lanjutnya tersenyum lagi.

Lihat selengkapnya