19 Oktober 2017.
Hari ketiga tinggal di rumah baru. Di meja makan kami bertiga sarapan bersama, lantas Ibu bertanya keadaanku karena mukaku kelihatan kusut, tapi kujawab saja kurang enak badan, sambil menyantap makanan. Ibu kemudian bicara pada ayah, bahwa semalam dia dengar suara perempuan menangis di samping kamarnya. Tapi setelah dilihat dari luar jendela kamar, disenter, tidak ada apa-apa. Ayah menanggapi perkataan Ibu dengan biasa saja.
“Mas biasa saja mendengar ceritaku, karena dua malam ini Mas tidak tidur di rumah, dan pulangnya pagi, coba jika Mas nanti malam tidur di rumah ini. Kasih tahu aku, ya jika Mas mendengarnya,” kilah Ibu sedikit cemberut.
“Elis, mungkin kamu sedang bermimpi. Jangan ditanggapi jika dengar suara itu lagi,” tukas Ayah pada Ibu.
Aku makan dengan diam sembari mendengarkan perdebatan mereka. Memang dua malam itu juga, aku tidak bisa tidur nyenyak. Kedengaran juga di telingaku suara-suara tak kasat mata, suara perempuan menangis, erangan laki-laki yang kesakitan, teriakan minta tolong, teriakan kata jangan, tidak, lari. Meski kadang sayup-sayup, lalu terdengar jelas dan itu mengganggu.
Ada apa sebenarnya dengan rumah ini? Ingin kuceritakan juga sama ayah, tapi kasihan sama Ibu, karena dia juga merasakan yang kualami. Bagaimanapun Ibu yang sering berada di rumah ini karena aku dan Ayah akan berada di luar rumah untuk waktu berjam-jam setengah harian. Aku berangkat ke sekolah, sedangkan Ayah berangkat kerja pagi pekan ini.
Sebelum berangkat, Ibu berpesan agar aku menunggu Ayah untuk dijemput. Ayah juga mengingatkan yang sama. Berangkatlah aku dan ayah bersamaan. Wajah Ibu kelihatan lesu apalagi di pelupuk kedua matanya. Kutatap lagi wajah Ibu dan berharap dia hari ini menjalani hari dengan semangat seperti biasanya.
Selama aku berada di kelas saat belajar, aku terus memikirkan kejadian di luar nalar selama waktu dua malam menginap di rumah baru kami. Gita menegurku dan bertanya bagaimana dengan rumah baru yang kami tinggali, kujawab dengan sedikit berbohong bawah aku senang tinggal di rumah itu. Walau sebenarnya senang itu berubah cemas manakala setiap malam aku seolah diteror suara aneh yang tidak tampak, tapi sangat sedih mendengarnya.
Bukannya aku tidak takut, kadang berusaha untuk mengetahui suara itu berasal dari mana? Apakah kepalaku yang tidak beres? Ibu juga mendengarkannya, berarti ada yang tidak beres dengan rumah ini.
“Amora, kapan-kapan aku dan Ririn boleh main ke rumah barumu?” celetuk Gita, itu buat aku memikirkannya dan merasa tidak nyaman. Kubalas jawabannya dengan mengangguk saja daripada dia curiga karena aku sudah bohong dan menyimpan masalah ini.
Waktu di sekolah cepat sekali berlalu dan sudah bel pulang saja. Sekarang aku tidak bisa lagi nongkrong sebentar di kantin selepas pulang sekolah. Ayah pasti sudah menunggu di depan parkiran. Ketika aku ke luar kelas bersama siswa lainnya, Ayah sudah berdiri melambaikan tangannya di samping mobil di tempat parkiran. Aku mendengkus dan memang harus langsung pulang, sedikit sebal karena aku rindu minum es kelapa di kantin ini.
Ayah hari ini pulang lebih awal katanya, karena istri atasannya akan melahirkan. Jadi kantor pabrik dipulangkan lebih cepat.
Di rumah, Ibu kupergoki sedang melamun ketika mencuci perabotan masak di depan wastafel.