2020.
Kicau burung-burung pipit di halaman rumah ini, di beberapa pohon masih bisa kudengar, dan ketenangannya sudah karib. Memori dua setengah tahun lalu berkelebat, dan jika kutulis kisahnya dalam sebuah buku tidak akan cukup.
“Ada apa Amora, sejak tadi merenung sendirian?” tanya Kusma, membuyarkan sedikit memori masa lalu yang sedang kuingat kisahnya.
Aku beranjak berdiri mendekati Kusma dan memandanginya lekat. Kisah rumah ini sangat panjang untuk kuceritakan lagi. Jika terlambat sedikit saja, pertolongan itu. Aku tidak akan berjalan ke mana pun sekarang, termasuk mengunjungi rumah ini. Allah memberikan kehidupan baru padaku, juga keluarga kami.
“Aku sedang mengingat kejadian dua setengah lalu. Pertemuan pertama kita, di rumah ini. Kejadian demi kejadian yang menyeret kamu dan nenekmu. Maafkan aku untuk yang kemarin.” Kusma menanggapinya dengan senyuman.
“Bagaimana dengan orangtuamu sekarang, Amora?”
“Mereka baik-baik saja, Amora junior saat ini menggantikan aku menemani mereka di sana. Kuharap, Ibu dan Ayah selalu bahagia." Kusma tersenyum dan memegang tanganku erat.
“Tadinya mereka terlihat sangat terpukul dan berat menghadapi kejadian yang dulu, tapi aku yakin sekarang ini mereka jauh lebih kuat dan bijaksana menghadapi apa pun,” ucap Kusma yang buat aku merasa lega, karena kapan saja aku bisa meninggalkan mereka, orangtuaku.
“Amora, kamu sudah berziarah lagi ke makam keluarga di Jakarta? Bagaimana pun dalam darahmu mengalir darah mereka,” ujar Kusma mengingatkan.
Dadaku sesak, meski sebulan sekali izin sama Ibu untuk ke Jakarta mengunjungi makam mereka satu per satu. Tetap saja tidak bisa menerima takdir yang sudah tertulis.
Mengapa mereka semua harus pergi dan menyisakan sedih yang dalam? Meski aku lega Ibu sudah kembali berbahagia. Namun, aku tidak bisa lagi bertemu satu pun keluarga ayah kandungku. Tidak ada yang tersisa dari mereka. Satu-satunya kenangan yang tertinggal dari mereka untuk aku, hanyalah rumah ini.
“Sudahlah, kamu jangan terus bersedih. Kejadian itu sudah lama berlalu. Kita kirimkan doa yang banyak untuk keluarga ayahmu, Amora.” Aku mengangguk. Iya, hanya doa yang bisa kulakukan untuk ketenangan mereka.