Oktober, 2017.
Hari ini tepatnya tanggal 21 Oktober, hari ulang tahunku. Namun, Ibu dan Ayah masih bersikap dingin di belakangku. Mereka lupa tentang hari ulang tahun anaknya, terutama Ibu. Dia selalu melamun setelah kejadian kemarin, paket misterius itu.
Kondisiku sudah membaik, sudah bisa beraktivitas lagi meski kurang bergairah ketika berada di dalam kelas. Tidak biasanya aku begini, tapi ini benar adanya. Sampai Gita bilang bahwa sikapku sekarang agak berubah. Tidak ceria seperti dulu, jarang bercanda. Kupikir apa yang dikatakan oleh Gita mungkin perasaannya saja, walau hati nuraniku membenarkannya.
Aku dan kedua orangtuaku mendapat masalah kecil. Meski berat untuk dipikirkan, tapi aku tidak mau mengatakannya pada teman di sekolah. Sejak mengenal Kusma, aku sering sekali mengirim pesan dari ponsel padanya. Mengungkapkan pikiranku, dan sebelumnya meminta maaf karena kuganggu. Kusma malah membalas pula pesan itu meski sekadar jawaban singkat. Namun, aku sudah merasa lega telah mengatakannya lewat pesan SMS juga via WhatsApp.
Sudah tujuh belas tahun umurku. Cepat sekali waktu berlalu, dan kurasakan menginjak usia sekarang rasanya bebanku makin berat. Selepas pulang sekolah aku akan bertemu Kusma, di sebuah kedai terdekat dari rumah kami. Untuk ke sana cukup berjalan kaki saja. Banyak yang harus kubicarakan dengan orang itu. Bersamanya merasa seperti sudah kenal dekat.
Sampai di kedai, Kusma sedikit terkejut melihatku berpenampilan mirip anak lelaki. Memakai kemeja, bercelana panjang, bertopi dengan rambut dimasuk kedalamnya. Kulakukan itu agar orang-orang tidak salah paham melihat kami berdua dalam kedai.
“Aku sangat terkejut, Amora. Kupikir itu bukan kamu,” ucapnya membuat kedua mataku membulat penuh saat duduk di hadapannya.
“Oh, jadi kamu memikirkan yang bukan-bukan?” balasku terkekeh. Dia tersenyum.
“Syukurlah kamu bisa tertawa sekarang. Melihat keadaanmu kemarin sungguh mengkhawatirkan. Aku dan nenek masih memikirkan kejadian kemarin,” ucapnya sedikit resah, dari wajahnya dia benar-benar mengkhawatirkan kami.
Kami berdua duduk berhadapan di kedai yang ternyata cukup besar untuk dibilang kedai. Ada tempat duduk berjejer berhadapan. Di sana juga dijual macam-macam cemilan snack, kue-kue dan gorengan. Mereka juga jual nasi goreng dan macam-macam minuman selain kopi hitam.
Aku memesan jus jeruk peras, membeli beberapa cemilan kue. Kusma memesan kopi susu hangat dan beberapa gorengan di meja.
“Lucu rasanya, hari ini seperti kebetulan. Orang terdekatku tidak mengingatnya, dan sekarang kamu yang bersamaku di hari paling penting dalam hidupku,” ujarku getir memulai percakapan.
Kusma terperangah mendengarnya. Dia lalu memandangiku dan berkata, “Amora, hari ini kamu ulang tahun? Wah, kebetulan sekali. Anggap saja kita sedang merayakannya,” serunya, aku tersenyum getir. Bukan karena perkataannya melainkan teringat pada keadaan ibuku yang belum membaik sampai lupa dengan hari ulang tahun anaknya.
“Maaf, Amora. Bukan maksud mengejek. Aku hanya ingin menghiburmu,” ujar Kusma buru-buru meralat. Kubalas dia dengan senyum lebar. Dia malah salah tingkah.