Rumah Amora

Rosi Ochiemuh
Chapter #24

Perayaan yang Tertunda.

Oktober, 2017.

Malam ini kami makan bersama. Kuharap hati kedua orang tuaku baik-baik saja saat ini. Aku perlu penjelasan dari mereka. Sungguh, aku tidak mau pernikahan mereka yang belum satu bulan usianya, sering mendapat masalah. Apalagi sampai terjadi hal buruk. 

“Ayah, Ibu, sebelumnya Amora ingin berkata sesuatu,” ucapku saat kami duduk bersama menghadap meja makan.

“Ya, Amora,” sahut Ayah. Dia tersenyum padaku. 

Hatiku lega, dia masih memberikan senyumnya. Itu berarti ayahku berhenti mempermasalahkan kejadian kemarin. Akan tetapi Ibu diam saja, hanya melirik kami berdua. Mengapa Ibu masih diam?

“Ibu, Ayah. Hari ini umur Amora sudah bertambah jadi tujuh belas tahun. Rasanya tidak percaya, di usia ini Amora mendapatkan hadiah orangtua yang lengkap,” ucapku dengan perasaan tidak karuan mengatakannya.

Ibu dan Ayah berhenti makan dan terperanjat menatapku. Mereka merasa bersalah saat bersamaan memandangku.

“Amora! Ya Ampun. Maafkan Ibu, Sayang. Jadi sekarang tanggal 21 Oktober?” seru Ibu sembari mengusap kepalaku.

Aku tersenyum padanya dengan menahan air mata. Sejak tadi hati ini rasanya ingin menangis. Untuk pertama kalinya aku merasa kecewa. 

“Bu, jadi hari ini Amora ulang tahun?” lanjut Ayah ikut terkejut, “maafkan Ayah juga Amora karena tidak tahu. Ibumu belum memberitahukan tanggal lahirmu. Kamu mau minta apa, Amora. Ayah akan usahakan.”

Ayah membuat aku tidak enak hati. Sedang Ibu kelihatan tidak nyaman di depanku, merasa menyesal telah melupakan hari ulamg tahun anaknya. 

“Tidak apa Ayah, Ibu. Amora sudah besar. Tidak perlu dirayakan, seperti anak kecil saja. Amora hanya terharu sekaligus sedih, dengan keadaan kalian. Ibu dan Ayah baik-baik saja, bukan?”

Ibu dan Ayah saling berpandangan. Kutahu dari kedua mata mereka, tatapan mereka menampakkan bahwa mereka tidak baik-baik saja.

“Ibu, Ayah. Amora sudah bahagia punya orangtua lengkap. Amora mohon, kalian tetap saling mencintai, tetap saling percaya satu sama lain,” ujarku, dan kedua tangan mereka kuraih lalu disatukan dalam satu genggaman. Mereka terkejut, lantas memandangiku. Tidak tahan juga, akhirnya air mataku tumpah di depan mereka. 

Ayah menghela napas, matanya berkaca-kaca. Ternyata dia tersentuh dengan ucapanku. Kurasakan genggaman tangan Ayah gemetar. Wajah Ibu merah, kedua matanya pun meneteskan air mata. 

“Iya, Amora. Kami berusaha untuk selalu mencintai,” ucap orang tuaku bersamaan. Aku lega mengatakan semua ini di depan orangtuaku. 

Akhir-akhir ini aku tidak lagi merasakan gangguan di rumah ini. Baik suara tangisan perempuan, teriakan laki-laki, bahkan lainnya. Tidurku nyenyak. Tidak tahu dengan Ibu, masih merasakan gangguan itu di malam hari atau tidak. Aku juga tidak tahu apakah ayahku sudah merasakan gangguan itu. Namun, tidak ada cerita apa pun darinya. 

Benar bahwa yang diberikan Bu Titik dalam rantang kuenya kemarin itu sedikit membantu. Sepertinya sejak diberikan rantang kue berisi taburan melati itu, aku tidak mendengar lagi gangguan suara seram di malam hari. Apakah Bu Titik dan Kusma paranormal, ya? Tapi penampilan mereka biasa saja. Tidak ada yang berlebihan. Aku harus berpikiran positif. Mereka itu orang baik. 

Lihat selengkapnya