Apa yang lebih menyakitnya dari mengetahui kebenaran?
Apa yang sangat menyiksa dari menyimpan dendam satu atau dua tahun atau belasan tahun lamanya? Demi sebuah ambisi yang akan berakhir sia-sia.
Satu per satu aku mengetahui kebenaran yang sangat pahit. Jauh sebelum aku mengenal semuanya, hidupku baik-baik saja. Meskipun hidup sederhana hanya berdua bersama Ibu, sebenarnya lebih bahagia. Rumah dalam mimpiku itu punya masa lalu yang menyedihkan sekaligus semacam memori kejahatan dari sebuah pengabaian dan penghianatan.
Secara kebetulan, Ayah Marko dan Ibu memiliki benang merah dan koneksi satu sama lain. Persahabatan mereka, penghianatan yang mereka alami dari orang-orang yang punya koneksi sama, membuatku berpikir bahwa itu mungkin sudah takdir.
Rumah kakekku adalah penyebab segala tempat penampungan kesedihan dan kesalahan. Bu Titik akhirnya membuka rahasia tentang kakekku, yang ternyata dia pun melakukan kesalahan besar yang membuat salah satu orangtuanya menyumpahi kutukan.
Kakek yang telah membuat ayah dan ibunya menderita karena menunggu, penantian yang panjang. Akar semua ini bermula dari kakek dan rumah itu. Namun, yang kudengar dari Ibu bahwa kakekku adalah orang baik dan dermawan, rasanya sangat kontras dengan cerita Bu Titik. Akan tetapi, setelah kutelusuri dengan bijak dan merenungkannya, kakek berbuat baik untuk menebus kesalahan besar masa lalu yang dia perbuat.
Kemudian tentang ayahku. Setelah kupikirkan lagi, ayahku—Marko bukanlah orang jahat. Kurasa waktu itu posisinya sebagai orang yang tersakiti, dikhianati dan mungkin saja kesabarannya sudah terbatas. Akhirnya berbuat kesalahan besar dengan menghilangkan nyawa Sandra dan ayah kandungku yang pada saat itu pula mereka melakukan dosa besar; menghianati pasangan mereka masing-masing.
Hampir seminggu selepas peristiwa kelam di rumah itu. Aku tidak bisa tersenyum sedikit pun. Teringat akan rahasia yang telah kudengarkan tanpa sengaja. Ibu mungkin sudah mengetahuinya, bahwa aku mendengar semuanya. Ayah merasa bersalah pada ibuku, dengan menjelaskan dengan sangat hati-hati mengapa waktu itu dia melakukannya tanpa berpikir panjang. Dia pun tidak tahu jika Alex alias Andre adalah suami Ibu. Berkali-kali dia menjelaskan sampai mengaku berkali-kali bertobat.
Dalam kegelapan waktu itu, kami seakan berada dalam ambang kematian dan ambang penyesalan, kekesalan, semua bertabrakan di ruangan itu jadi satu. Penuh peluh, gelisah, marah, bahkan jika pun kami adalah bom waktu, seketika itu juga kami akan menghancurkan rumah peninggalan masa lalu kakek. Tidak ada yang kutakutkan dari kegelapan kecuali sosok yang tiba-tiba menyerangku dan ingin menghancurku.
***
“Amora, kumohon kamu jangan ke sana, berbahaya,” ujar Kusma menghentikan langkahku ketika aku ingin kembali ke dalam karena mendengar jeritan Ibu.
“Tapi, Kusma, bagaimana dengan ibuku? Mereka ingin orangtuaku disiksa sampai mati. Mereka sudah lama merencanakan ini jauh sebelum kami pindah. Ternyata benar dugaanku selama ini.”
Itu kukatakan bukan tidak beralasan. Aku sudah merekam berbagai ingatan dari kejadian janggal yang aku dan Ibu alami. Dua orang itu mungkin sudah lama mengincar kami.
“Jadi, siapa mereka, Amora? Bukan perampok?” tanya Kusma tiba-tiba dan menatap mataku.
“Mereka ingin balas dendam. Mereka ingin melukai Ayah dan Ibu. Bagaimana ini?” jawabku dan akhirnya aku menangis. Dalam kegelapan itu aku menangis terisak, tapi air mata itu tumpah ruah. Kusma berkali-kali menyeka air mataku.
“Ayo Amora, kamu harus ke luar duluan. Beberapa warga sudah mengawasi rumahmu dari samping. Sebentar lagi polisi akan menangkap mereka,” ucap Kusma meyakinkanku.
Kami berdua berjalan menuju pagar, tapi hatiku selalu was-was karena Ibu dan Ayah masih di dalam sana. Memang kulihat lima orang warga ikut bersiaga dan mengawasi dari samping rumahku. Terdengar jeritan Ibu lagi. Kali ini aku tidak bisa membiarkan hal buruk pada mereka terjadi. Langkahku terhenti, tanpa beralas kaki, kulepaskan tangan Kusma dan berlari menuju pintu rumah. Kusma mengejar, aku langsung memegang gagang pintu dan membukanya.
Kulihat di ruang tamu tidak ada mereka. Dalam kegelapan pelan-pelan aku melangkah. Dua nyala lilin masih menyala dalam ruangan itu. Kutemukan mereka berada di lorong menuju dapur. Ibu dan Ayah diseret paksa menuju dapur dalam keadaan kaki dan tangan terikat, sungguh jahat mereka! Kurang ajar! gerutuku.