Menjadi seorang anak, mahasiswa, sekretaris, dan diri sendiri, adalah empat hal yang berbeda. Masing-masing memerlukan perlakuan yang berbeda. Menyamaratakannya akan membuat yang lain menderita lalu hancur. Dan empat status itu melekat dalam satu pribadi seorang gadis: Andinie!
---«---
Sore itu ia bergegas memasuki pintu gerbang sebuah kantor bertingkat empat di kawasan elite. Tasnya berat, penuh. Tiga bendel HVS masing-masing 175 lembar berjejal. Masih terbayang di benaknya kernyit ketidakpuasan di jidat pembimbingnya tadi. Lalu terbayanglah revisi-revisi yang membutuhkan begadang panjang.
Bagi mahasiswa S1 menyelesaikan tugas skripsi itu sangat berat. Ibaratnya seperti membangun jembatan ke negeri harapan di seberang lautan. Seolah-olah delapan semester duduk di bangku kuliah ambruk tidak ada artinya bila gagal skripsi.
Itulah persoalan pertama bagi Andinie. Walau berat dan sulit namun masih terlihat ada jalan keluar. Dan kini dia sedang melangkah menjemput persoalan kedua.
Angka bergantian menyala merah, satu, dua, tiga, lima, dan pintu lift terbuka. Andinie melangkah ke luar. Anggukan dan sapaan selamat sore yang hangat dari satpam dan beberapa pegawai yang sedang lembur tidak bisa mengusir gigil dingin dan meriang di tubuhnya. Karena di balik pintu kantor direktur utama itu sedang menunggu masalah yang berat, pelik, dan buntu tanpa terlihat jalan keluar. Itulah masalah kedua: sang direktur utama.
Kedengaranya biasa saja. Seorang sekretaris menemui atasan, hal yang lumrah. Namun Andinie bukanlah pegawai biasa. Dia bukan sekretaris pada umumnya.
“Selamat sore, mbak Andinie,” sapa penuh hormat dari seorang pegawai perempuan dari meja dekat pintu yang ia tuju. “Bapak sudah menunggu sejak tadi, tanya-tanyaa terus.” Orang itu membukakan pintu direktur utama dan mempersilakan tamunya dengan telapak tangannya.
“Terima kasih,” jawab Andinie. Dia berusaha menenangkan dug-dug di dadanya dan melangkah melewati pintu itu. Rasanya dia merasa seperti masuk lagi ke pintu ‘horor’ tempat ujian komprehensif yang ia tinggalkan 60 menit yang lalu. Tapi yang ini more horrible.
Di dalam ruang, suasana terasa sangat menegangkan. Sebenarnya semenjak lulus SMA dia sangat sering memasuki ruang itu, minimal seminggu sekali, karena sejak saat itu dia menjadi karyawan di perusahaan itu. Sekretaris magang, istilah yang dia pilih sendiri. Namun hari ini semua mendadak jadi lain. Di AC menyala kuning kehijauan angka delapan belas namun suhu ruang seperti ngedrop sampai nol. Apalagi saat dia melihat pria tinggi besar itu beku memandangi dirinya. Lebih angker lagi karena dia duduk di belakang meja marmer lebar ada ukiran kayu eboni di tengah meja yang bertuliskan nama sosok berkulit gelap itu: BARADA SASMITA – Direktur Utama – Bagi Andinie tulisan itu lebih terbaca: Hakim Ketua!
Sejurus keduanya beku. Hanya terdengar tak tik tak lembut dari jam dinding di tembok sebelah Andinie.
“Dengan siapa saya sedang berbicara?” suara ngebas dan parau keluar dari tenggorokan pria tersebut, sangat dingin, sangar – suara yang sudah akrab di telinga Andinie sejak masih bayi.
Andinie menunduk. Sebenarnya dia sudah mendengar pertanyaan itu tadi pagi di rumah. Sebab orang yang sama sudah membocorkan kepadanya, tapi sampai sekarang ia belum menemukan jawabnya. Sebab jawaban apa pun yang ia berikan adalah jawaban yang akan membuat remuk jiwanya.
---«---
Tadi pagi-pagi sekali ayah Andinie memanggilnya ke ruang tengah setelah semalaman gadis itu bergulat dengan teori-teori dan komputer. Lelaki tengah baya itu sedang berjongkok menghadap sebuah sangkar burung di bawah cahaya matahari yang menembus foyer. Sebenarnya ia tidak pernah mengerjakan apa pun sendiri rumah. Ia cukup berteriak memanggil orang lain untuk melakukannya apa pun yang ia inginkan. Siapa pun yang ada di dekatnya akan sigap menghadap bila namanya disebut, mulai dari istrinya, Nella, Andinie, yu Darmi, mas Darto, atau nama-nama ajudannya. Kecuali memberi makan perkutut kesayangannya itu, ia melakukannya sendiri. Ia tampak sangat menikmati kegiatannya yang satu itu. Sesekali pria itu menjentikkan jarinya untuk metheki[1] burung itu sambil memanggili namanya seperti sedang menimang seorang bayi. “Waringin, Waringin,” Ungkapan sayang yang sangat kebapakan. Dalam atmosfer seperti itu biasanya interaksi seluruh penghuni rumah menjadi sangat cair. Suasana hati pria itu sangat menentukan suasana rumah. Saat ia bahagia, rumah seperti dipenuhi sinar matahari dan bunga-bunga bermekaran di sana-sini. Saat ia uring-uringan, setiap sudut rumah serasa mencekam. Seperti pagi itu, terasa sangat hangat dan ceria. Kehangatan hati seorang pangeran.
Andinie berharap suasana tidak berubah.
“Nanti ayah tunggu kamu di kantor jam sepuluh, ya,” laki-laki itu membuka pembicaraan. Pandangannya tidak berpindah dari gerak-gerik Waringin. “Ingin lihat persiapanmu. Rehearsal dululah, gitu. Siapkan baik-baik presentasi company profile kita. Fokuskan pada besarnya profit yang sudah dicapai oleh rekanan-rekanan bisnis kita selama ini. Kalau perlu kamu bisa mark-up-mark-up dikit jumlahnya gak papa agar lebih merangsang mereka bergabung. Nella sudah merekomendasikan beberapa orang dari perusahaan rekanan untuk memberikan testimoni. Herdy sudah menghubungi dan mereka siap datang, honor untuk itu juga sudah disiapkan. Jam dua belas pas presentasi dimulai. Bila goal, ini akan menjadi proyek yang cukup profitable tahun ini …,” laki-laki itu memberi uraian panjang tanpa jeda. Seorang direktur utama yang fasih.
Matik aku! umpat Andinie dalam hati. Ia merasa seperti menghadapi tambang melingkar yang menjulur dari tiang gantungan persis di depan wajahya. Harusnya dia sudah memberitahu ayahnya bahwa dia tidak bisa presentasi yang sudah dijadwalkan itu karena benturan jadwal dengan ujian skripsinya. Tapi ayahnya selalu tidak ada di rumah. Ia sendiri tenggelam di kamarnya berkutat dengan kertas, buku-buku, dan jurnal. Sampai tibalah pagi itu. Semua tampak sudah terlambat.
“Oh ya, baju corporate yang harus kamu pakai sudah diterima, kan?” tambahnya.
“Maaf, yah, saya tidak bisa,” suara Andinie pelan dan sedikit bergetar.
“Apa?” Ayahnya menoleh cepat. Seperti tidak yakin dengan apa yang didengarnya. “Tidak bisa apa maksudnya?”
“Maaf,yah. Saya harus ujian skripsi pagi ini. Recschedule yang saya ajukan tidak disetujui, jadwal kampus sangat padat. Jadi kali ini saya tidak bisa …”
Wajah ayahnya tiba-tiba merah padam.
“Kamu waras, Andinie!” ayahnya berdiri dan berbalik mengadapnya. Suasana hangat dan cair mendadak mampat. Ia betulkan letak gulungan sarungnya lebih tinggi dari perutnya yang bundar. Matanya berkilat seperti menyambar syaraf Andinie. Badannya yang lebar menelan tubuh kecil anaknya itu saat berdiri pas di depannya.
Jantung Andinie copot sudah. Ia tahu ini bakal terjadi namun tetap ia tidak siap menghadapinya.
“Apa kamu kira ini main-main? Ini adalah masa depan perusahaan, masa depan kita, masa depanmu! Sudah sekian kali ayah memberimu kesempatan. Kamu selalu mengecewakan. Kamu tidak serius. Tidak punya greget bekerja. Banyak alasan. Kamu lebih sibuk dengan kegiatan sosial yang tidak berguna, unprofitable, merugikan. Apa kamu ingin merasakan masa kecil ayah yang menyedihkan, miskin, menderita, …”
Dan seterusnya dan seterusnya. Semua ungkapan kekecewaan berhamburan memenuhi udara pagi di ruang tengah itu. Kalau sudah begitu semua anggota keluarga akan sembunyi di tempat masing-masing. Takut kecipratan darah, istilah mereka.
“… begitu!” bentak ayahnya mengakhiri derasnya berondongan kalimat.
“Bukan begitu, yah. Saya hanya belum siap,” Andinie mulai menangis.
Ayahnya berprinsip menjadi kaya itu penting, sebuah keniscayaan, agar bisa berdaya untuk membantu orang lain. Andinie pun setuju dengan hal itu. Tapi bila tidak dibarengi merawat nurani untuk terus berbagi dengan orang lain, maka rasa kemanusiaan itu akan tumpul. Kalau sudah begitu kekayaan tidak akan berdampak apa pun kecuali menjadi pupuk bagi egoisme dan rakusisme.
Dari kecil Andinie suka bergaul dengan banyak orang. Baginya mereka seperti magnet yang menyedot jiwanya. Mereka membuat jiwanya bercahaya. Ia begitu bahagia saat berbagi. Begitu senang melihat senyum orang-orang yang ia bantu. Ia terbiasa bercerita kepada mereka. Berbagi dengan sesama membuatnya bergairah. Kehangatan sesama adalah energi hidup, itu yang ia rasakan.
Dalam hal ini Andinie selalu berdebat dengan ayahnya. Perdebatan yang sudah dimulai sejak dini. Sejak ia masih SD. Baginya berteman dan menolong adalah hal yang penting. Sebaliknya ayahnya berpikir uang adalah segalanya, bahkan uanglah yang akan membeli orang untuk membahagiakannya.
“Boleh saja banyak berteman, namun mereka harus bermanfaat,” kata ayahnya suatu saat. “Mereka harus menguntungkan. Bila tidak, ya hapus saja. Habis-habiskan waktu!”
Andinie tidak setuju. Sangat tidak.
Untuk mengajarinya memanfaatkan teman, ayahnya sering menitipkan permen kacang di tas Andinie untuk dijual pada teman-temannya di kelas. Tapi Andinie lebih sering membagikannya gratis. Sampai di rumah ia dimarahi. Tapi besoknya terulang lagi. Awalnya ia hanya ingin memberi Milah dan Rom saja. Mereka tidak pernah membeli permennya karena tidak pernah membawa uang saku. Kalau tidak ada yang memberi, kapan mereka akan pernah mencicipi permen nougatt yang lezat ini, pikirnya. Tapi waktu ia memberi mereka, yang lain protes, mau gratis juga. Maka dia beri gratis saja semua! Dan semua senang.
---«---
“Saya minta maaf, yah. Mohon izin saya menyelesaikan skripsi dulu,” pintanya sambil sesenggukan. “Setelah itu saya membantu di perusahaan,”
Telapak tangan ayahnya kejang mencengkeram, urat-uratnya menyembul dari lengannya. Otot rahangya menegang menahan keinginan tangannya untuk memukul. Gemetar suaranya saat berbicara, bassnya berkurang karena pitch tribelnya naik.
“Sebenarnya apa yang kamu harapkan dari gelar sarjana psikologi? Dari awal ayah tidak setuju. Ayah ingin kamu belajar bisnis untuk meneruskan perusahaan kita. Kamu harapan ayah. Kamu. Walau kamu perempuan, tidak mengapa, paling tidak masih ada harapan. Selama ini ayah melatihmu untuk menjadi hebat, besar, dan sukses. Ayah ingin kamu gagah dan gigih seperti ayah. Tapi kamu selalu mengecewakan. Percuma kamu menyandang namamu Barada, namun tidak sedikit pun ada kualitas nama itu dalam dirimu. Kamu lemah. Persis bundamu!”
Kaki Andinie lemas. Ia jatuh berlutut di lantai. Dalam linangan air mata dia mencari kekuatan. Ia mencoba untuk menguatkan otot-otot kakinya. Tidak berhasil. Maka ia mencari sendi-sendi otot-otot jiwanya agar bisa teguh berdiri dan berbicara sebagai jiwa merdeka.
Dia mencoba menguatkan apa yang dia yakini selama ini: setiap anak didesain khusus. Ada rencana masa depan yang ditulis Tuhan untuk dibaca, dipahami, dan diperjuangkan. Tuhan tidak membuka pabrik mass product dalam menciptakan manusia. Ia menenun pribadi demi pribadi dan menginstallnya dengan rencana yang istimewa. Menjadi seseorang sesuai dengan titah-Nya itulah puncak kebahagiaan sejati. Walau untuk mewujudkan rencana Sang Pencipta itu bukanlah sesuatu yang mudah.
Andinie bertekad untuk menjadi dirinya sendiri. Namun tetap saja Andinie bingung. Karena yang dia hadapi adalah ayahnya. Walau karakternya sangat bertolak belakang dengannya, bisa jadi dia juga merupakan kepanjangan tangan Tuhan untuk membuka instalasi rancangan-Nya.
“Tuhan, tolonglah saya,” doanya pendek memekik dalam hatinya. Cuma itu yang tersedia di mulutnya.
Dalam pandangan yang kabur karena air mata, ia melihat Waringin kabur, terbang melewati foyer. Rupanya ayahnya tidak sempat menutup pintu sangkarnya tadi. Andinie bertanya dalam hati, apakah ini petunjuk yang mengarah pada pilihan yang harus dia ambil, keluar dari sangkar?
---«---
Saat tangan sang ayah terayun siap mendarat di pipi Andinie, sepasang tangan lain menahannya, tangan perempuan.
“No, Daddy!” teriak si pemilik tangan itu.
“Diam, Nella! Tidak perlu kamu membela adikmu. Dia pantas menerima hajaran!”
Wanita muda yang dipanggil Nella itu berdiri menentang laki-laki yang terbakar itu, memasang badan melindungi Andinie.
“Dia sudah keterlaluan. Dia tidak pantas menyandang nama Barada!” lelaki itu berteriak.
“She’s my sister. And a kid no more. No physical abuse. Lagi pula, apa Daddy yakin setelah Andinie dihajar dia akan berubah? ” Wanita muda itu membela. Lalu dengan sigap ia menghambur ke arah tubuh Andinie yang lemas, memeluknya, dan membimbingnya ke kamar. Sementara ayah mereka terpaku dengan tangan kanannya masih teracung kaku di udara.
Di dalam kamar Nella terus memegng pundak Andinie. “Jangan menangis, ada aku.”
“Aku bingung Nella, ini pilihan yang sulit,” suara Andinie tidak jelas karena dia membenamkan wajahnya ke bantal. “Di satu sisi, menyelesaikan kuliahku adalah obsesiku, di sisi lain, aku mengerti bahwa taat pada orang tua adalah kewajiban seorang anak. Tapi ayah tidak pernah mau mengerti keinginanku. Ia selalu memaksakan kehendaknya. Tidak semua orang harus jadi entrepreneur, kan? Sudah lama aku bicara tapi tidak pernh didengar. Aku ini hany anak kecil di mata ayah. Aku tidak tahan ditekan begini.”
“Aku mengerti, Din. Aku juga punya pemikiran sepertimu,” kata Nella sambil mengusap-usap punggung adiknya yang masih terisak-isak. “Kalau menurutku it’s better for you to finish your study first. Dulukan skripsimu dulu. You’re on the right track. Sayang kan? Hanya tinggal selangkah saja. Setelah itu kamu bisa konsentrasi di perusahaan. No worry about Daddy, biar aku yang bicara nanti. Tentang presentasi di kantor nanti siangnanti, let me handle it. I’m pretty sure we can manage this situation together.”
Andinie masih terisak.
“What d’you think?” desak sang kakak.
“Biarlah, Nell. Aku sajalah yang mengalah. Aku ke kantor saja hari ini. Ayah tampak sangat murka. Aku sangat takut. Skripsiku kuselesaikan belakangan saja, toh masih memungkinkan mengejar dengan mengambil SP. Semester depan juga gak papa.”
“Jangan Din,” Nella menyambar. “Dengar ya. Biar aku yang akan menyelamatkan meeting nanti siang. Jangan khawatir, keuntungan yang sudah kita prediksikan tidak akan lewat. Trust me. Aku yakin mereka akan menerima tawaran kita. Aku jamin. Diam-diam aku ikut mempersiapkan semua yang ayah tugaskan padamu. Data di mejaku cukup lengkap. Lagian presentasi prospektif seperti itu sudah sering ditugaskan ke aku kok.”
“Tapi ayah?”
“I told you, biar aku yang bicara.”
“Kamu yakin?”
Nella mengangguk.
“Aku tunda sajalah skripsiku, Nell. Molor satu semester saja tidak masalah. Toh ini bukan akhir segalanya.” Andinie masih lemah dan menyerah.
“O come on, my dearest sista! Mana idealismemu. Kamu sendiri ‘kan yang sering bilang ke aku kalau: setiap orang pasti takut sesuatu, mencintai sesuatu, dan kehilangan sesuatu. Kamu harus berjuang untuk mencapai apa yang kamu inginkan dengan segala risikonya.”
“Jadi aku harus bagaimana?” tanyanya lemah
“Ke kampus. Jemput cita-citamu. Biar aku yang tangani ayah dan urusan kantor.”
“Aku tidak yakin, Nella. Itu sangat berisiko”
“Avoiding the risk is the riskiest thing you can do with your life. Kalau orang lain saja percaya pada dirimu, kenapa justru kamu meragukannya!” seru kakaknya sedikit membentak. “Sejak kapan kamu jadi begini lemah? Bukankah berdebat dengan ayah itu sudah jadi rutinitasmu? Kalian berdua adalah rival berdebat abadi tidak pernah ada yang mau mengalah.. Sekarang apa yang kamu takutkan? Take it easy.”
“Biasanya aku tidak setakut ini. Tadi ayah sangat marah. Belum pernah aku merasakan ketakutan seperti ini. Matanya. Seperti mau membunuhku.”
Nella tersenyum tipis. “Hh, sudah berapa lama kamu jadi anaknya? Menyandang nama Andinie Barada Sasmita? Kok sepertinya tidak kenal ayah kita saja. Ia akan segera baikan denganmu dalam beberapa hari.”
“Kamu yakin?”
Nella mengangguk
Andinie membalik badannya. “Yakin?” tanyanya masih belum yakin.
“Pretty sure. Don’t call me Nella if I am not.”