Ketika alasan untuk pergi begitu kuat, alasan-alasan untuk tetap tinggal mendadak bermunculan menyergap.
Seorang pembantu laki-laki perlahan-lahan membuka pintu gerbang tinggi masuk halaman rumah keluarga Barada. Seorang pembantu perempuan tergopoh-gopoh menjemput.
“Dapat?”
“Saya sudah muter-muter keliling kampung, ndak ada. Sudah clingak-clinguk di tiap pohon sambil teriak-teriak, Waringiiiin… Waringiiiin…., wis jan kaya wong kenthir ngono![1]. Sampe kemelaman di rumah Mirwan dekat gumuk[2] sana, ya saya tidur di sana, di rumah Mirwan. Lagian mau balik saya takut sama Bapak.”
“Bapak ndak ada kok. Sejak berangkat kemarin belum pulang. Masuk sana. Wis sarapan pa durung, kowe[3]?”
“Ya belum.”
“Duh, piye iki?[4]. Padahal cuma Waringin yang bisa bikin bapak senyum.”
Nyonya Laksmi, majikan mereka, mendekati.
“Ada apa toh, kok isuk-isuk klesak-klesik[5]?”
“Ndak kok Bu. Ini loh, Darto ndak berhasil menemukan Waringin. Dospundi, Bu? bapak mesti duka sanget[6].”
Laksmi tersenyum. “Wis, ‘ra popo[7]. Waringin sudah pergi menjemput takdirnya. Sejak jamannya Nabi Adam, yang namanya burung ya tinggal di hutan, di alam merdeka. Bukan kurungan.”
Kedua pembantu itu tersenyum, tapi kecut. Memang enak bicara dengan bu Laksmi, tapi beda ceritanya kalau sama pak Barada, pasti kena semprot blangwir[8], pikir mereka, sama.
---«---
Rumah keluarga Barada sangat besar. Setelah masuk pintu gerbang dengan pagar geser yang tinggi orang harus berjalan melewati halaman rumput kira-kira 100 meter. Di sudut halaman rumah yang luas itu berdiri satu bangunan gazebo raksasa 7 x 7 dengan lantai setinggi setengah meter, dikelilingi tanaman bunga tasbih sebagai pagar. Ada akses pintu kecil dari luar yang langsung berhubungan dengan gazebo itu. Di belakang gazebo ada paviliun yang menempel dengan rumah utama.
Angin pagi Januari bertiup lembab.
Laksmi duduk sendiri di gazebo, di kursi gantung yang terbuat dari rotan bercat merah. Teh lemon segar masih mengepul di meja kayu di dekatnya, baru saja diantarkan yu Darmi. Pikirannya menerawang jauh. Ia membayangkan sebentar lagi akan sendirian di rumah besar itu. Suaminya dan anak sulungnya adalah manusia-manusia gila kerja. Mereka seperti hantu yang sosoknya sesekali berkelebat di depan mata, lalu hilang entah kemana. Andinie adalah satu-satunya anggota keluarga yang selalu ada di saat ia membutuhkan teman. Namun beberapa jam lagi bungsunya itu akan pergi. Mereka sudah kesepakat.
Bagi Andinie, gazebo itu sudah seperti habitatnya, seperti pohon apel dan Batu. Berbagai jenis manusia dari berbagai umur, gender, strata ekonomi, dan pendidikan menjadi tamunya di situ. Mulai dari pegiat sosial, anak-anak psikologi, teman-teman SMP dan SMA, kelompok vocal group, persekutuan doa, pecinta alam, teater, juga ibu-ibu kampung, sampai anak-anak jalanan dan pengemis yang jadi sahabatnya. Ramai. Silih berganti mereka datang. Andinie menyebut mereka ‘sahabat gazebo’. Itu sebabnya dia menyediakan bangku-bangku panjang, tikar untuk lesehan, 10 kursi lipat, dan beberapa meja kecil. Ada juga papan tulis kecil. Serba ada serba sederhana. Sesuai kebutuhan.
Andinie tidak pernah betah sendirian. Selalu ada orang di dekatnya, entah orang itu yang mencari atau dia yang mendatanginya. Hampir semua yang ia kenal pasti diundang datang ke rumah dan ngobrol di gazebo itu, semua, kecuali teman-teman kantornya.
Bagi Barada, gazebo itu seperti pesaing perusahaannya karena sebagi salah satu sekretaris Andinie lebih suka berlama-lama dengan sahabat-sahabat di gazebonya daripada bekerja di kantor. Banyak pekerjaannya yang tidak terselesaikan.Yang selesai pun hasilnya kurang memuaskan. Tidak jarang ia menjadi antagonis di rapat-rapat perusahaan dalam membela buruh di perusahaan mereka. Dan yang paling parah adalah ketika ia memimpin demontrasi membela para buruh berhdapan dengan manajemen perusahaannya sendiri.
Bagi Laksmi, gazebo itu seperti akuarium raksasa. Ia senang melihat warna-warni ikan di dalamnya. Seperti panggung teater, ada drama, komedi, pernah juga ada action, cuma thriller dan horror yang tidak pernah ada. Biasanya Laksmi duduk di teras paviliun depan kamarnya untuk menikmati reality show yang disiarkan live dari gazebo itu. Sesekali kelompok vocal group membawakan tembang kenangan dipersembahkan khusus untuknya atau mengajaknya bergabung dan menyanyi bersama. Tidak jarang Andinie memaksanya menjadi narasumber ketika ada ibu-ibu binaan berkonsultasi mengenai persoalan keluarga mereka. Laksmi sangat senang dilibatkan dan selalu berharap begitu. Tapi ia tidak pernah mendekat kalau tidak diminta.
Beberapa sahabat gazebo yang akhirnya bekerja di rumah Barada sebagai asisten rumah tangga dengan tugas khusus. Ada mbak Kus datang dua hari sekali untuk mencuci pakaian. Budhe Si menjadi tukang pijit pribadinya. Edy datang seminggu sekali memotong rumput. Bimo mencuci mobil dan akhirnya diminta Nella menjadi sopir pribadinya.
Sebentar lagi keceriaan gazebo itu tidak akan terlihat. Tidak akan terdengar lagi derai tawa, musik, nyanyian, doa, tarian, tangis, atau puisi. Gazebo ini akan menjadi seperti bong, kuburan Cina yang sepi.
Wanita paruh baya itu manangis sendiri – tangisan sequel semalam.
Senyap-senyap Andinie berdiri di belakang kursi ibunya, mendorong kursi gantung itu sedikit mengayun. Ibunya tahu, tapi ia sengaja tidak bereaksi.
“Ayah tidak pulang?”
“Mungkin di guest house.”
“Tapi tamu wakil perusahaan dari Makassar kan masih di situ, belum pulang? Tidak mungkin ayah akan tinggal dengan mereka.”
“Ndak tahulah, nduk. Siapa pula berani nanya. Apalagi kalau nanti kamu benar-benar pergi. Selama ini hanya kamu yang berani nanya-nanya, yang lain ndak ada.”
“Lha, bunda kok jadi sedih gitu. Kemarin kan kita sudah sepakat aku pergi.”
“Heran,” ibunya bergumam pelan seperti bicara pada dirinya sendiri. “Burung piaraan kabur aja ia kalang kabut, diperintahnya Darto nyari sampe bocah kuwi ndak brani pulang karena ndak berhasil. Ini kok malah anaknya sendiri disuruh pergi.”
Andinie mengguncang-guncang pelukan di punggung ibunya. “Bunda jangan nggremeng[9] gitu ah, itu tugasnya tawon.”
---«---
Langit pagi itu muram sangat. Matahari seperti malas keluar dari selimutnya. Makin siang makin gelap.
”Gazebomu ini, siapa yang akan datang ke sini?”
“Laron itu pencari terang. Di mana ada terang, ke situ mereka pergi.”
“Maksudmu mereka akan mengikutimu, begitu?”
“Bunda ini, lha saya ini ya siapa to, kok sampai dikintili[10] gitu? Pejabat bukan, politisi bukan, pendeta pun bukan.”
“Lha, kuwi mau apa[11]?”
“Siapa pun yang jadi terang,akan diikuti banyak pencari cahaya. Kalau bunda mau jadi terang, mereka akan datang pada bunda. Rasa cinta yang tulus itu punya daya tarik seperti magnet. Dan bunda punya kekuatan itu.”
“Begitu?” ibunya sedikit tersipu.
“Mereka akan tetap singgah ke gazebo kita ini dengan bunda sebagai cahayanya. Nanti di tempat baru, para pencari cahaya lain akan datang padaku.”
Sipu-sipu di wajah Laksmi berubah menjadi seri. Ia seperti diberi warisan keceriaan. Betapa senangnya. Ia membayangkan orang-orang akan datang, membunyikan bel pintu kecil dan bertanya dengan menyebut namanya, “Bunda Laksmi ada?” itu adalah pertanyaan yang tidak pernah ia dengar karena tidak pernah ada orang yang mencarinya sejak dia bergelar nyonya Barada. Lalu mereka masuk dan ngobrol hangat. Terus datang yang lain. Dan begitu silih berganti. Selama ini tidak ada orang yang mengenalnya. Bagi mereka perempuan ini tidak ada sebab ia tidak pernah keluar. Ia seperti terkubur hidup-hidup di rumahnya yang besar itu.
“Tapi bunda ini ora tau mangan bangku kuliah[12], ndak bisa diskusi-diskusi ilmiah.”
“Tidak perlu. Tidak ada yang menuntut bunda omong yang canggih-canggih. Apa yang bunda punya, itu yang bunda sampaikan. Ketulusan hati, itu yang mereka cari.”
“Lha teman-temanmu yang mahasiswa, piye?”
“Yang mahasiswa biar Endah dan Zizah yang ngatur. Mereka-mereka lebih senang diskusi di sini daripada di kampus. Mungkin karena bunda sering memberi mareka makanan, he he he… . Sabtu nanti ada teman-teman dari fakultas lain akan bergabung, mereka akan mengadakan bhakti sosial ke Gunung Kidul. Kalau ayah atau Nella protes, bilang saja mereka menyewa gazebo kita. Kalau ujung-ujungnya ada uang mereka akan senang.”
Seri-seri wajah Laksmi makin menjadi. Ia senang akan menjadi bagian dari akuarium besar itu. Jadi event organizernya pula. Mendengarkan setiap keluh kesah, memberi nasihat atau jalan keluar, atau bisa membantu kebutuhan mereka yang dalam kekurangan. Bisa jadi oleh suaminya ia akan disebut Sinterklas kedua sertelah Andinie. Tidak apa, rangurus[13], pikirnya.
“Hanya aku yang pergi. Cuma Andinie. Yang lain tetap tinggal. Termasuk para sahabat. Gazebo ini masih tetap hidup bahkan lebih semarak.”
“Ora perlu nunggu ayahmu?”
“Apa bunda pingin dengar keributan lebih besar lagi?”
Laksmi menggeleng.
“Dua jam lagi. Setelah itu mungkin kita akan sangat jarang bertemu. Atau mungkin tidak pernah bertemu lagi. No one knows, kata Nella. Que sera sera.”
“Sampaikan salam bunda pada mbak Tyas.” Kata Laksmi tidak bersemangat.
Andinie akan meninggalkan Jogja tempat kelahirannya menuju Malang. Tempat pengasingan. Mungkin beberapa kali dia masih akan kembali ke Jogja untuk urusan kepindahan, juga transfer studinya ke universitas di Malang. Bagi Andinie soal pendidikan Jogja atau Malang tidak masalah, karena keduanya adalah kota pendidikan yang memiliki reputasi di atas rata-rata. Pasti banyak anak luar kota kuliah di sana. Namun meninggalkan apa yang selama ini sudah menjadi bagian hidupnya bukanlah hal yang mudah. Apalagi kepergiannya adalah karena berjuang merebut hidupnya yang hendak direnggut oleh orang yang dia sayangi.
“Ingat lo ya, kamu harus tinggal di rumah budhe[14]Tyas. Ndak boleh yang lain. Kita sudah sepakat itu tadi malam,” ulang Laksmi karena melihat anaknya termenung.
“Kenapa harus Budhe Tyas? Siapa toh dia itu?”
“Dia sahabat bunda, tetangga di Sleman dulu. Anak ketiga dari tujuh bersaudara dari keluarga miskin. Kedua orang tuannya meninggal dalam waktu yang hampir bersamaan saat ia masih berumur 15 tahun. Pakdhe Tris dan budhe Tun meninggal di hari yang sama karena terlalu keras bekerja. Mereka melakukan apa saja yang bisa menghasilkan uang, siang malam menukar tenaganya dengan upah.
“Akhirnya Tyas sendiri yang harus ngurusi empat orang adiknya. mbakyunya yang sulung sudah menikah, tapi rapeduli[15] dengan adik-adiknya. Konon masnya yang kedua bekerja di Jakarta tapi ndak pernah kasi kabar. Ia dan empat adiknya melanjutkan usaha warisan bapaknya, nambal ban, dan home industri warisan ibunya, bikin jamu untuk dijual. Serta sepetak tanah tegalan di samping rumahnya ditanami singkong dan sayuran. Dia sangat gigih namun kelihatan sombong karena ndak pernah mau nerima bantuan siapa pun. Akhirnya bunda tahu, itulah kebanggaannnya, dia menyebutnya harga diri.”
“Antara bunda dan mbak Tyas ada suatu janjian. Kami janji saling menolong sampai generasi ke tiga. Jadi anak atau cucu kami akan kami anggap seperti anak kami sendiri. Itu sebabnya bunda rela kamu pergi asalkan tinggal sama dia.”
“Apa beliau nanti menerima aku?”Andinie seperti tidak yakin.
“Hafalkan syair ini:
Ing banyu mili ngisor wit dhadhap iki
sakloron prau godhong pring ngintir nang segara
bakal tinemu ing mangsa anak putu[16]
Andinie melongo. “Itu kata sandi yang sangat puitis. Bagaimana kisahnya sampai ada passwordnya begitu?”
“Mbak Tyas orangnya cerdas, pandai olah bahasa, suka nulis puisi dan cerita. Dia bisa jadi seorang penulis yang hebat.”
Lalu Laksmi bercerita pada Andinie:
“Suatu saat setelah bunda nemani dia berkeliling desa njajakan gethuk, kami melepas penat. Duduk di dekat sungai kecil di bawah pohon dhadhap yang tidak terlalu rindang di batas desa. Itu adalah hari ketiga kami jualan gethuk singkong hasil tegalan di sebelah rumah mereka. Masih ada separo baskom yang belum terjual.
“Mi, katanya sambil benahi letak roknya menutupi lutut, sampai kapan kamu akan nemani aku?
“Sampai pulang, jawab bunda bodoh. Yang situ nanya apa yang sini njawab apa. Tapi dia nanggapi serius.
“Maksudmu sampai mati?” tanyanya.
“Iya, Yas,” jawab bunda seenaknya.
“Sampai anak, sampai cucu. Kita akan saling menolong, ulangnya.
“Kita janji?
“Mari kita buat sumpah, kata Tyas memetik dua lembar daun bambu apus yang lebar. Selembar diserahkan kepada bunda.
“Untuk apa ini?” Tanya bunda.
“Buatlah perahu, perintahnya. Lalu masing-masing kami mbuat perahu dengan mencobloskan pangkal tulang daun bambu ke ujung daun sehingga berbentuk segi tiga. Sekarang ayo kita larung, katanya.
“Kami berlari menuju sungai kecil di bawah pohon dhadhap yang menaburkan hamparan bunga cilung merah jingga di tepi kali itu.
“Mi, mari kita hanyutkan perahu ini di sini. Mereka akan hanyut entah ke mana, mungkin sampai ke bengawan, atau sampai ke laut. Yang pasti perahu kita tidak akan terus bersama-sama. Perahu ini mewakili kita. Suatu saat kita akan berpisah namun akan ada pertemuan, mungkin kita, mungkin anak-anak kita, mungkin cucu-cucu kita. Kamu setuju, Mi?
“Iya, Yas,” jawab bunda.
“Kami pun siap melepaskan perahu daun itu.
“Mari kita rapalkan dulu mantranya. Lalu dia menguncapkan syair tiga baris itu. Ketika kami sudah hafal kami mengucapkannya dengan khidmat dan melepaskan perahu-perahu itu terbawa arus. Kami memandang dua perahu daun yang bergerak sesuai air yang membawanya, dari beriringan, saling mendahului, salah satu oleng, dan seterusnya sampai hilang dari pandangan di kelokan sungai dekat pohon trembesi.”
“Apa Budhe Tyas baik,?” tanya Andinie.