Stasiun Kota Baru menyambut Andinie dengan sebuah diorama raksasa kolonial tumbang pagar ayu lampu-lampu taman berderet baru saja menyala. Taksi meluncur ke alamat yang dituju dengan cepat. Sebenarnya dia ingin minta sang sopir meklaju pelan-pelan agar puas melihat-lihat pemandangan kota Malang melalui jendela yang terbuka.
“Tidak pakai AC saja, Mbak?” tanya sopir saat Andinie membuka kaca jendela.
“Ini sudah dingin, enakan pakai yang alami. Matikan saja AC-nya, Pak.”
“Mbak bukan Arema, ya?”
“Iya, kok tahu?”
“Itu logatnya kulonan. Terus udara seperti ini diangggap dingin. Pasti dari Jawa Tengah atau Jawa Timur bagian barat.”
“Jogja, Pak”
“Oo, gitu. Sering ke Malang?”
“Baru sekali, itu pun sudah lama, pas lulusan SMP dulu, sekadar jalan-jalan.”
“Ini ke Malang dalam rangka apa?”
Andinie diam, pura-pura tidak mendengar pertanyaan itu. Ini baru terpikirkan, apa sebenarnya tujuan dia hijrah ke Malang. Ia lama terdiam. Sampai taksi berhenti di depan rumah yang dituju pertanyaan sopir itu tidak terjawab.
---«---
Rumah itu adalah sebuah bangunan baru tapi dibangun berarsitektur vintage rumah zaman kokonial Belanda, menyesuaikan lingkungan kiri kanannya. Berada di sebuah jalan yang tidak terlalu lebar sepi dan rindang dengan pohon-pohon tanjung berderet di kiri kanannya.
Seorang laki-laki seusianya duduk di teras rumah itu. Pakai jins biru kaos putih dengan outer baju flanel kotak-kotak hijau tidak dikancingkan, beropi cap sporti dengan kanopi melengkung menutupi seluruh dahinya. Ia diam saja waktu taksi berhenti di depan rumahnya. Bahkan waktu Andinie masuk ke halaman rumah pun dia tidak menyambut.
Dengan kesopanan khas tetangga keraton Andinie menanyakan soal rumah nyonya Tyas.
“Ya. Betul” jawab pria itusingkat, tanpa ekspresi, tetap duduk. Juga tidak menoleh.
“Saya Andinie. Andinie Laksmi dari Jogja,” katanya sambil mengulurkan tangan. Tidak disambut. Gadis itu jadi kikuk, buru-buru dia menarik tangannya kembali.
“Jadi betul ini rumah Ibu Tyas?” sekali lagi dia ingin keyakinan.
“Iya,” ekspresi yang ditanya tetap kosong.
Ibu Tyasnya ada?”
“Masih keluar.”
“Lama ya?”
“Tidak tahu.”
“Saya bisa menunggu?”
Tidak ada jawaban.
“Maaf, apa saya boleh menunggu?” Andinie mengulangi pertanyaannya.
Bel taksi berbunyi. Andinie baru ingat kalau dia belum selesai urusan dengan sang sopir. Buru-buru ia berbalik badan dan menghampiri sopir taksi yang berdiri diapit dua kopor dan satu tasnya. Dia membayar argo dan mengusung bawaannya.
Tanpa menunggu konfirmasi boleh apa tidak dia menunggu, dia tata bawaannya itu rapi lalu duduk di kursi yang dipisahkan oleh sebuah meja kecil dari pemuda itu.
Asem! rutuk Andinie dalam hati. “Ini orang kok diam saja. Tidak salah kalau orang-orang yang lalu-lalang di jalan akan menyangka kami ini sepasang patung loro blonyo[1].” Wajahnya dirambati panas karena hatinya geram. Untunglah udara segar dan sedikit angin mengantarkan aroma manis dari mawar yang mekar di halaman rumah itu.
Rileks wae,Din, ia berusaha menenangkan hatinya sendiri, kalau tidak, mungkin dia akan beranjak dari situ dan kabur entahlah, bubar sudah semua rencana.
“Anda ingin saya basa-basi atau apa adanya?” tiba-tiba pemuda itu membuka pembicaraan dengan pertanyaan aneh setelah sekian menit mematung. Wajahnya tetap memandang ke arah jalan, intonasinya pun datar seperti robot, bedanya robot yang ini suaranya dalam dan sexy, tidak cempreng kaleng.
Edian! Umpat Andinie dalam hati. Mau basa-basi ya basa basi saja. Mau apa adanya ya apa adanya saja. Masa yang begitu ditanyakan?
“Basa basi,” jawab Andinie singkat jelas, mungkin terdengar juga nada dongkolnya.
Pemuda itu kontan berdiri, mendekati tamunya, melepas topi dengan tangan kiri dan menyembunyikannya di belakang pinggang, sedikit membungkukkan badannya, dan mengulurkan tangan kanannya, tersenyum.
Suasana pun berubah total.
“Panji.” Wajahnya yang sedari tadi nirekspresi kini tampak berseri. Tanpa topi, tampaklah kornea matanya coklat tua dengan bulu mata lentik yang jarang ditemui pada laki-laki Jawa. Amerika Latin? Senyumnya, wah ganteng sekali, gumam Andinie dalam hati.
Tapi enak saja, pikir Andinie merlat. Tadi tanganku tidak disambut, kini dia minta salaman. Tapi anehnya Andinie menyambut tangan yang terulur itu. Tangan itu dingin, kontras dengan wajahnya yang hangat. Lama tangan Andinie digenggamnya. Andinie ingin segera menepis tangan tuan rumah itu, tapi tidak dilakukannya.
“Saya Panji Rey. Maksud saya Panji Sutrisno. Atau Panji sajalah. Itu nama khas Jawa Timur. Saya anak Nyonya Rumah yang Anda cari. Anak satu-satunya, karena saya tidak punya kakak, tidak punya adik. Selamat datang di kota Malang. Senang berjumpa dengan Anda, nona … siapa tadi?”
“Andini. Andinie Laksmi. Andinie Barada. Sasmita,” jawab Andinie agak gugup.
“Nona Andinie Sasmita! Nama yang anggun. Seanggun orangnya.”
Dalam hati Andinie cekikikan, Tai! Baru kali ini ada orang menyebutku anggun, biasanya yang dia terima adalah julukan si mungil, si lincah, semut item, atau lady bird, sekitar itulah. Ah, namanya juga basa-basi, halal saja toh, pikir Andinie. Tapi berbunga-bunga juga ia dipuji seperti itu.
“Selamat datang di rumah kami. Semoga Anda senang di sini. Mohon maaf kalau ada gupuh, lungguh, suguh[2] kami yang kurang berkenan di hati. Kalau anda puas ceritakan pada masyarakat se kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, kalau tidak puas ktakan langsung pada saya.” Ucapnya seperti uda atau uni warung Padang jadi penerima tamu resepsi kawinan Jawa.
Lalu Pria yang menyebut dirinya Panji itu melepaskan tangannya, memakai lagi topinya dan kembali duduk.
Andinie sibuk mencari teori tingkah laku yang baru saja dia saksikan, perubahan sikap yang konstan. Dari sebuah patung batu menjadi seorang flight attendant yang hangat dan menyenangkan. Dari pandangan kosong seorang autis bisa menatap penuh konsentrasi dan menantang.
Ia membandingkan Panji dengan teman-teman di kampusnya yang arek Malang. Mereka itu tidak punya basa-basi, tidak mengerti bahasa-bahasa sastra Jawa yang adi luhung, bahasanya seenaknya yang penting komunikatif. Ini kok ada Arema yang mengerti gupuh, lungguh, suguh, segala. Pasti ini bukan sembarang Arema, pikirnya. Arema jadi-jadian!
“Piyambakan kemawon saking Yogjo?[3]” kembali matanya berbicara dulu sebelum mulutnya.
“Nggih.”
“Bapak dan ibu tidak ikut? Kakak? Adik? Teman?”
Andinie menggelang.
Hadoh! teriak Andinie dalam hati sewot. Ini basa-basi yang norak. Sudah tahu jawabnya sendiri, ya sendiri, kalau dengan orang lain itu tidak sendiri, kalau rame-rame itu rapat, kalau lebih rame lagi itu kampanye!
“Ibu Tyas masih keluar. Ke Gramedia. Sebantar lagi datang”
“Cari buku?” tanya Andinie sekadar bunyi.
“Bumbu dapur,” jawabnya landai tanpa rasa bersalah.
Andinie mulai jengkel. Tapi setelah dipikir-pikir yang salah adalah pertanyaannya. Memang beli apa di Gramedia kalau tidak beli buku? Bodo amat aku ini, rutuknya.
“Mami ingin saya belajar masak. Supaya kalau pas istri saya pergi saya bisa masak sendiri. Makanya mami mau belikan saya buku tentang bumbu dapur,” buru-buru dia memberi penjelasan sebelum pertanyaan mbleber ke mana-mana. “Jaman sekarang pria yang ganteng dan penuh cinta adalah pria yang jago masak,” tambahnya. Diakhiri senyum pramugaranya.
Istrinya? Tanya Andinie dalam hati. Sedikit terusik dia. Jadi pria ganteng ini sudah menikah? Andinie melirik jarin-jarinya. Tidak ada cincin apa pun.
“Istrinya sering pergi-pergi, ya Pak?” Andinie mengajukan pertanyaan lugu.
Panji tertawa ngakak sekeras-kerasnya, sampai ada orang yang lewat di jalan menoleh ke arah mereka. Lalu ia menjawab dengan berbisik: “Pak? Saya ini belum laku, Non. Eh, maaf – saya harus panggil Non Andinie, atau Bu Andinie, atau Bu Atmojo, atau lengakp Bu Andinie Atmojo, gitu? Mas siapa tadi nama suminya? Sasmita?”
“Memangnya saya kelihatan seperti ibu-ibu ya?”
“Wao, jadi sudah ibu-ibu toh. Waduh, meskipun begitu, Bu Andinie tidak kelihatan kalau sudah menikah loh. Kelihatan masih sangat muda. Malah tadi saya kira masih gadis. Masih pengantin baru ya?” ledeknya. “Maaf ya, tadi saya memanggil Non.”
Damput![4] umpat Andinie dalam hati, menirukan umapatan Arema yang sering dilontarkan Helos teman sekampusnya pas jengkel – Helos adalah Soleh yang dibaca dari kanan.
“Suaminya tidak mengantar?” Panji menggoda makin parah. “Kalau saya punya istri seperi Ibu Andinie ini, waaaah, tidak akan saya biarkan pergi sendiri. Tak gendong ke mana-mana! Ha ha ha ha …” pemuda itu tertawa ngakak.
Kali ini Andinie benar-benar geram. Ini sudah keterlaluan basa-basinya. Dia melipat tangan dan memandang ke arah jalan raya.
“Saya ambilkan minum ya, bu.”
Andinie diam.
“Panas atau dingin?”
Tetap diam.
“O, yang panas. Itu pilihan yang tepat,” katanya seakan-akan Andinie sudah memilih minuman panas. “Di udara dingin begini cocok minum yang panas-panas. Saya siapkan ya?” Panji masuk rumah setelah menunggu respon tamunya tidak kunjung muncul.
Andinie merasa ada yang aneh dengan perasaannya. Seperti ada sedikit meriang-meriang ketika memandang tuan rumah yang aneh itu. Apa aku jatuh cinta ya? Pikirnya. Enggak ah, segera dipotongya pikiran itu. Enggak mungkin.
Teman Andinie sangat banyak. Mungkin 75 persen dari jumlah total temannya adalah laki-laki. Tidak sedikit dari mereka yang berwajah ganteng seperti selebritis: Indonesia, Korea, Holywood, bahkan Bolywood. Tapi perasaannya pada mereka biasa saja. Malah ada beberapa ganteng yang mengejarnya. Sama sekali tidak ada perasaan greng. Tapi dengan pemuda yang baru beberapa menit yang lalu dia jumpai, Andinie merasakan perasaan asing yang tidak bisa dia gambarkan dengan kata-kata. Perasaan yang bahagia. Ah, ini mungkin meriang karena perubahan suhu dari panas ke dingin, tepisnya kilat. Terlalu cepat untuk menyimpulkan aku jatuh cinta. Lagian dari dulu aku tidak percaya adanya cinta pada pandangan pertama, itu hanya ada di lagu-lagu cengeng atau sinetron-sinetron kacangan!
Walau nalarnya berusaha menyaring pikirannya selogis-logisnya, namun bibir Andinie tersenyum sendiri, senyuman refleks, tanpa komando dari otak. Pikirannya terasa nyaman seperti terbang menembus langit Malang. Mungkin begitu rasanya baru minum ganja.
Panji kembali membawa nampan berisi dua gelas tinggi. Ada asap tipis keluar dari gelas itu. Andinie segera membuang muka ke arah lain untuk menyembunyikan sisa senyum yang masih menyebar di sekujur wajahnya.
“Ini dia. Teh panas diberi irisan jeruk dan adukan serai, harganya tiga ribu saja. Atau lemon tea with lemon grass, harganya lima belas ribu. Harga tergantung sebutannya. Silakan diminum, bu.”
Andinie tidak bereaksi. Masih mencoba membuang jauh-jauh sisa senyumnya yang sulit dikelupas dari wajahnya.
“Di sini tersenyum sendirian itu legal kok. Tidak ada perda yang mengatur orang senyum-senyum sendiri,” Panji berbicara seperti pada diri sendiri, tentu saja sambil melirik sang tamu.
“Minuman ini juga bagian dari basa-basi, kan?” Andinie mengalihkan pembicaraan.
“Tentu saja,” jawab pemuda itu mantap. Dugaan Andinie meleset. Tadinya dia pikir pemuda itu akan bilang tidak. “Tadi Ibu Andinie sendiri yang memilih agar saya berbasa-basi, toh?”
“Jadi ini tidak ikhlas?”
“Ikhlas atau tidak, itu tidak penting karena tidak mengurangi kehangatannya, jadi silakan disruput,” jawabnya diplomatis. Bisa saja dia menjawab.
Andinie ingin segera memegang gelas yang tampaknya hangat itu untuk mengusir dingin dan menghirup aroma teh segar dan wangi lemon dn serai yang menggoda selera. Mau tapi malu.
“Mari, silakan diminum. Gulanya ada di dasar gelas belum saya aduk. Kalau suka manis silakan diaduk sampai larut semua, kalau tidak ya seperlunya saja.”
Akhirnya si tamu mengangkat gelas itu sedikit ragu-ragu.
“Kalau saran saya,” sela pemuda itu, “jangan diaduk semua, karena ibu Andinie sudah sangat manis. Jangan-jangan saya yang meliriknya jadi diabetes kalau terlau manis,” Panji terus melancarkan gombalnya.
Andinie tidak peduli lagi dengan gombal yang masuk telinganya, diaduknya minuman itu dengan btang serai beberapa putaran dan dihirupnya sedikit. Hangatnya melewati tenggorokan, merinding sampai dijiwa. Harum membuat rileks otaknya yang spaning sejak Malioboro.
“Angin mulai datang. Ini tradisi akhir Januari sampai Februari, kami menyebutnya angin Riyoyo Cino,” Panji menjelaskan kondisi cuaca saat itu. “Bagaimana kalau kita pindah ke dalam?” Panji membuka tawaran baru.
“Ini tulus apa basa-basi?” tanya Andinie pura-pura ketus.
“Basa-basi,” Panji mengangguk ganteng dan angsung menyeret dua kopor tamunya.
---«---
Jam delapan nyonya rumah datang.
Ada yang sangat aneh. Ketika terdengar deru mobil memasuki halaman rumah wajah Panji tiba-tiba pucat pasi seperti mayat. Setelah memperkenalkan sang tamu pada ibunya, pemuda itu menghilang entah ke mana.
Sebelumnya Andinie membayangkan akan berjumpa dengan seorang wanita ramah, keibuan, anggun, pembimbing, dan penuh perhatian yang akan jadi mentor kebanggaannya. Harapan itu terbangun sejak pertama kali ibunya bercerita mengenai budhe Tyas. Tapi kenyataannya bertolak belakang. Tyas adalah seorang perempuan tengah baya yang terkesan angkuh. Kalau bicara dagunya diangkat naik dan tidak mau menatap lawan bicaranya. Tapi Andinie masih berprasangka baik, mungkin ibu yang satu ini sama nyentrikna dengan sang anak yang menampilkan kesan pertama memuakkan namun sebenarnya sangat akrab dan menyenagkan.